Afwan

Blog Sedang Dalam Renovasi Karena Pernah Terjadi Kesalahan,, Sekarang Sedang Di Perbaiki,, Maaf Jika Sedikit Berantakan ^^

Makasih,,,

Nb : sulaiman

Assalamu'alaikum Wa'rohmatillohi Wa'barokatuh

kami tidak memakasa orang kafir untuk masuk islam

(Qs. [2] Al-baqarah : 256)

1
لاَإِكْرَاهَفِيالدِّينِقَدتَّبَيَّنَالرُّشْدُمِنَالْغَيِّفَمَنْيَكْفُرْبِالطَّاغُوتِوَيُؤْمِنبِاللّهِفَقَدِاسْتَمْسَكَبِالْعُرْوَةِالْوُثْقَىَلاَانفِصَامَلَهَاوَاللّهُسَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. 2:256)


~ Perkumpulan Mujahid Muda Islam ~

Rabu, 13 Oktober 2010

Jihad tidak bergantung dengan tokoh

Jihad tidak bergantung dengan tokoh

Syaikh Yusuf bin Sholih Al-‘Uyairiy

Pemandangan sehari-hari yang kita saksikan sekarang ini adalah ketergantungan umat Islam dalam masalah jihad kepada orang atau tokoh tertentu.
Barangkali mereka tidak mengatakannya secara langsung, mungkin hanya terlihat dari sikapnya. Sebagai bukti, tak sedikit kaum muslimin akan mengatakan kepada Anda: “Agama Islam ini adalah agama Alloh, jika orang yang berkhidmad kepada agama-Nya meninggal Alloh akan ciptakan makhluk lain yang menjadi pelayan agama Islam yang akan membelanya.”
Sayangnya, ketika tiba giliran untuk merealisasikan kata-katanya ini dalam praktek nyata, kita tidak akan jumpai langkah kongkret dan berarti dari manhaj ini dalam kehidupan.
Siapa yang mau memperhatikan kondisi umat Islam hari ini dari sisi temperamen dan gaya berbicara pemeluknya, akan menjumpai sebuah kenyataan yang tidak bisa dianggap sebelah mata; ada orang-orang yang menggantungkan setiap hal kepada tokoh tertentu, bukan hanya dalam masalah jihad, bahkan dalam masalah dakwah, usaha memperbaiki masyarakat, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya.
Yang menjadi fokus kami dalam pembahasan ini adalah menegaskan bahwa jihad tidak bergantung dengan pimpinan atau tokoh-tokoh tertentu. Menggantungkan jihad dengan tokoh, baik itu komandan (qiyadah) ataupun mujahidin merupakan bahaya besar yang mengancam kekokohan akidah tentang syiar jihad dalam hati kaum muslimin di sepanjang zaman. Ini akan melemahkan keyakinan diri bahwa jihad akan tetap berlangsung dan relevan di setiap zaman. Bahkan, ini akan menjadi penghalang utama secara psikologis dan manhaj ketika seseorang hendak menapaki jalan jihad serta ingin mengkonsentrasikan diri terhadap syiar agama yang agung ini.
Alloh Ta‘ala telah mendidik shahabat Muhammad r untuk hanya bergantung kepada-Nya jua dan kepada agama-Nya. Alloh menerangkan kepada mereka bahwa menggantungkan diri dengan tokoh adalah cara yang tidak benar, akan berdampak kepada tergantungnya perjuangan dengan orang tersebut sehingga bisa jadi perjuangan berhenti dengan meninggalnya seorang tokoh.
Alloh Ta‘ala melarang para shahabat y menggantungkan diri kepada tokoh-tokoh tertentu, belum pernah Alloh melarang orang lain seperti larangan ini kepada mereka, Alloh melarang shahabat menggantungkan syiar-syiar agama dengan makhluk terbaik yang pernah Alloh ciptakan, dialah Muhammad bin Abdulloh r. Alloh melarang mereka bergan-tung dengan pribadi Nabi Muhammad r, Alloh I berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُوْلَ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ  وَمَنْْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللهِ شَيْئًا وَسَيَجْزِي الله الشَّاكِرِيْنَ
“Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang? Siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” [1]
Ayat ini turun untuk mendidik shahabat y, melarang mereka untuk menggunakan methode (manhaj) yang rusak, yang bisa merusak ibadah; yaitu menggantungkan amal kepada orang tertentu.
Menggantungkan amal di sini bukan selalunya memperse-kutukan Alloh I dengan tokoh tersebut, bukan, karena ini bisa menjadi syirik kecil, bahkan bisa juga menjadi syirik besar; maksud kami menggantungkan amal dengan tokoh adalah ketika seorang muslim beranggapan bahwa ibadah yang ia lakukan, khususnya jihad, tidak akan menuai sukses, tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan mendapatkan hasil apapun kalau bukan karena Alloh menjadikan tokoh ini atau tokoh itu berada di barisan depan para pejuang yang lain. Inilah gambaran minimal yang Alloh I larang untuk menjadikannya sebagai manhaj. Alloh I telah melarang shahabat Rosululloh r memakai manhaj ini.
Perkataan para mufassirun (ahli tafsir) berikut ini akan semakin memperjelas apa yang kami maksud, akan menerangkan betapa bahayanya manhaj tersebut yang pasti akan berujung kepada ditinggalkannya agama, atau paling tidak usaha memperjuangkannya menjadi lemah.
Baiklah, Ibnu Katsir berkata menafsirkan ayat yang kami sebutkan di atas (Tafsir Ibnu Katsir: I/ 410), “Ketika perang Uhud, di kala sebagian kaum muslimin mundur dan sebagian lagi terbunuh, syetan berteriak: “Muhammad terbunuh!” Ketika itu seorang bernama Ibnu Qomi‘ah kembali ke barisan kaum musyrikin seraya mengatakan, “Aku berhasil membunuh Muhammad,” Padahal sebenarnya Rosululloh r hanya terkena pukulan pada bagian kepala sehingga beliau terluka. Hal ini mengguncangkan hati kebanyakan kaum muslimin kala itu dan mereka menganggap Rosululloh r sudah terbunuh. Mereka terlalu berlebihan membayangkan Nabi I, seperti kisah kebanyakan nabi yang diceritakan Alloh I. Akhirnya, terjadilah kelemahan semangat, perasaan takut mati dan malas berperang. Saat itulah turun firman Alloh: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul…” maksudnya, Beliau pun sama dengan para rosul yang lain dalam mengemban risalah dan beliau juga bisa dibunuh. Ibnu Abi Najih menuturkan dari ayahnya bahwasanya ada seorang lelaki dari Muhajirin yang melewati seorang lelaki Anshor yang sedang berlumuran darah, ia berkata: “Hai fulan, tahukah kamu, Muhammad sudah terbunuh.” Orang Anshor itu menjawab, “Jika Muhammad terbunuh, ia telah menyampaikan risalah, maka berperanglah membela agama beliau yang sekarang kalian yakini.” Maka turunlah ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul…” (Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitab Dala’ilun Nubuwwah). Kemudian Alloh I berfirman mengingkari kelemahan yang terjadi ketika itu: “Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang?”artinya, kalian mundur ke belakang, “…siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” mereka adalah orang-orang yang berbuat taat kepada Alloh, berperang membela agama-Nya, mereka mengikuti rosul-rosul-Nya, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Demikian juga terdapat riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan keshahihannya di dalam Kitab-kitab hadits shohih, musnad dan Sunan serta buku Islam lain dari banyak jalur yang menunjukkan hal ini secara absolut, saya telah menyebutkan sebelumnya dalam dua Musnad Abu Bakar dan Umar *#, di sana disebutkan bahwa Abu Bakar As-Shiddiq t membaca ayat di atas ketika Rosululloh r wafat. Bukhori berkata bahwa Aisyah )# menceritakan, “Abu Bakar t datang menaiki kuda dari kedia-mannya di daerah Sanh, kemudian ia turun dari kudanya dan masuk ke masjid, ia tidak mengatakan apapun kepada manusia sampai masuk ke rumahku (Aisyah), ia mengusap Rosululloh r dalam keadaan jasad beliau tertutup kain yang berhias tinta, kemudian ia membuka wajah beliau, kemudian ia peluk dan kecup wajah beliau seraya menangis kemudian berkata, “Demi ayah dan ibuku; Demi Alloh, Alloh tidak akan mengumpulkan dua kematian pada dirimu, adapun kematian yang telah ditetapkan untuk-mu, engkau telah menjemputnya.”
Az-Zuhri berkata, Abu Salamah bercerita kepadaku dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Abu Bakar keluar, saat itu Umar berkhutbah di hadapan manusia, Abu Bakar berkata, “Duduklah wahai Umar.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Amma ba‘du, barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal dunia, dan siapa yang beribadah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Mahahidup dan tidak pernah mati. Alloh berfirman:“Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia meninggal, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Demi Alloh, saat itu orang-orang merasa ayat ini seolah baru diturunkan, yaitu ketika Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang membaca ayat tersebut, tidak ada satu orangpun tidak kude-ngar membacanya, Sa‘id bin Musayyib menceritakan kepadaku bahwasa-nya ‘Umar berkata: “Demi Alloh aku baru tersadar setelah Abu Bakar membacakannya, akupun bercucuran keringat sampai-sampai kedua kakiku tak sanggup menyangga tubuhku dan akupun jatuh tersungkur.”
Abul Qosim At-Thobaroni berkata dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya ‘Ali mengatakan ketika Rosululloh r masih hidup,“…Apakah jika Muhammad meninggal atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang…” Demi Alloh kami tidak akan mundur ke belakang setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh seandainya beliau wafat atau terbunuh aku benar-benar akan berperang membelanya sampai aku mati, demi Alloh aku adalah saudaranya, aku adalah walinya, aku adalah sepupunya, aku adalah ahli warisnya, siapakah yang lebih berhak membelanya selain aku?”.
Sedangkan firman Alloh pada ayat selanjutnya:
{وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ كِتَابًا مُأَجَّلاً}
“Tidaklah satu jiwa meninggal kecuali atas izin Alloh, sebagai ketetapan yang sudah pasti.” [2] artinya, tidak ada seorangpun yang mati kecuali atas takdir Alloh sampai ia habiskan batas waktu yang Alloh tentukan untuknya, oleh karena itu Alloh berfirman: “…sebagai ketetapan yang sudah pasti.”
Sama seperti firman Alloh:
“Tidaklah orang yang berumur ditambah dan dikurangi umurnya kecuali sudah tercantum dalam Kitab (Lauhul Mahfudz).” [3]
Seperti juga firman Alloh:
“Dialah yang telah menciptakan kamu dari tanah kemudian menentukan ajal, ajal pasti itu ada di sisi-Nya…” [4]
Ayat ini menjadi penyemangat bagi orang-orang yang ciut nyalinya sekaligus pendorong bagi mereka untuk berperang, karena maju ataupun mundur sama sekali tidak akan mengurangi atau menambah umurnya, sebagaimana diceritakan Ibnu Abi Hatim, Al-‘Abbas bin Yazid Al-‘Abdi berkata kepadaku, Aku mendengar Abu Mu‘awiyah bercerita dari Al-A`masy dari Hubaib bin Shohban ia berkata: Ada seorang dari kaum muslimin –yaitu Hujr bin ‘Adi— mengatakan: “Apa yang menjadikan kalian tidak bisa menyeberang ke tempat musuh melewati sungai Dajlah ini? “Tidaklah satu jiwa mati kecuali atas izin Alloh dengan ketetapan yang sudah pasti.” Kemudian ia nekat menyeberang sungai itu dengan kudanya, ketika melihat ia maju maka orangpun semuanya maju, ketika musuh melihat hal itu mereka mengatakan: “Orang gila…orang gila…” dan merekapun lari.” Sampai di sini perkataan Ibnu Katsir Rahimahulloh.
Penulis kitab Zadul Masir berkata ketika menafsirkan ayat ini: “Alloh Ta‘ala berfirman, “Muhammad tak lain adalah seorang rosul…”, Ibnu ‘Abbas berkata: Ketika perang Uhud syetan berteriak: Muhammad terbunuh! Maka sebagian kaum muslimin mengatakan, “Jika Muhammad terbunuh kita akan menyerah, mereka (kaum musyrikin) itu adalah keluarga dan saudara kita, seandainya Muhammad hidup tentu kita tidak akan kalah,” kemudian orang-orang itu memilih untuk lari dari perang maka turunlah ayat ini.
Adh-Dhohak berkata: Orang-orang munafik berkata, Muhammad telah terbunuh, kembalilah kalian kepada agama pertama kalian; maka turunlah ayat ini.
Qotadah berkata: Sebagian orang mengatakan, Seandainya ia nabi tentu ia tidak terbunuh.”
Penulis Fathul Qodir berkata (I/ 385) menafsirkan ayat ini: “Muhammad tak lain adalah seorang rosul yang telah lewat para rosul sebelumnya…” “Sebab turun ayat ini adalah sebagai berikut: Ketika Nabi r terluka di perang Uhud, syetan berteriak: Muhammad telah terbunuh! Mende-ngar itu sebagian kaum muslimin merasa putus harapan sampai ada yang mengatakan: Muhammad terbunuh, menyerah saja kita, mereka saudara kita juga.
Sebagian lagi mengatakan: Kalau Muhammad itu rosul, ia tidak akan terbunuh.
Maka Alloh mematahkan persangkaan mereka ini dan mengkhabarkan bahwa beliau hanyalah seorang rosul yang sebelumnya telah lewat rosul-rosul, beliaupun akan berlalu sebagaimana mereka juga berlalu. Jadi, kalimat dalam firman Alloh: “…telah lewat para rosul sebelum beliau,” adalah kata sifat bagi Rosululloh. Sedangkan kontek pembatasan kalimat dalam ayat tersebut, adalah pembatasan yang bersifat khusus. Karena, seolah aneh bagi mereka kalau beliau bisa meninggal dunia. Mereka menetapkan bagi beliau dua sifat yaitu sebagai pengemban risalah dan sifat bahwa beliau tidak bisa meninggal, maka Allohpun mementahkan anggapan mereka tersebut dengan menetapkan bahwa beliau adalah seorang rosul yang tidak sampai menyandang sifat tidak bisa meninggal dunia.
Ada juga yang berpendapat pembatasan dalam ayat ini bersifat pembatasan kebalikan, karena Ibnu Abbas membaca ayat di atas begini: “Qod Kholat min qoblihir rusul…” (“Para rosul sebelumnya telah berlalu…”). Setelah itu, Alloh mengingkari sikap mereka dengan berfirman: “Apakah kalau ia meninggal atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang.” maksudnya, bagaimana kalian menolak kembali dan meninggalkan agama yang ia bawa ketika ia meninggal atau terbunuh padahal kalian tahu bahwa para rosul sebelumnya telah berlalu sementara para pengikut mereka tetap konsisten dengan agamanya meskipun mereka kehilangan pimpinannya karena wafat atau terbunuh? Firman Alloh: “…barangsiapa berbalik ke belakang…” yakni mundur dari perang serta murtad dari Islam, maka ia tidak akan membahayakan Alloh sedikitpun, tapi ia membahayakan dirinya sendiri, “…dan Alloh pasti akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” yakni orang-orang yang bersabar, yang terus berperang dan mencari kesyahidan, karena dengan itu berarti mereka telah men-syukuri nikmat Alloh yang Dia berikan kepadanya yaitu nikmat agama Islam, dan siapa yang melaksanakan perintah-Nya berarti ia telah mensyukuri nikmat yang Alloh berikan kepadanya.” Sampai di sini perkataan penulis Rahimahulloh.
Penulis kitab Shohibul ‘Ujab fi Bayaani `l-Asbaab berka-ta, “Firman Alloh Ta‘ala: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul…” Thobari meriwayatkan melalui jalur Sa‘id bin Abi ‘Urubah dan jalur Ar-Robi‘ bin Anas keduanya menceritakan, “Ketika kaum muslimin kehila-ngan Nabi r pada peristiwa Uhud, sebagian mengatakan: Kalau ia nabi tentu tidak akan terbunuh.
Sebagian lagi mengatakan: Terus berperanglah kalian seperti nabi kalian berperang sampai Alloh menangkan kalian atau kalian susul nabi kalian. Maka turunlah ayat ini. Robi` menambahkan: Ada seorang lelaki Muhajirin melewati seorang lelaki Anshor yang bersimbah darah, orang Muhajirin ini mengatakan: ‘Tidak tahukah kamu, Muhammad sudah terbunuh.’ Orang Anshor itu menjawab: ‘Kalaulah Muhammad terbunuh, beliau telah menyampaikan risalah; berperanglah kalian di atas agama yang beliau sampaikan.’Maka turunlah ayat ini.
Kemudian dari jalur Asbath dari As-Suddi: Diriwayatkan bahwa ketika pecah perang Uhud…. dst (selanjutnya ia menyebutkan kisah seperti di atas), di antara isi kisahnya disebutkan bahwa saat itu tersebar berita Muhammad telah terbunuh, maka ada yang mengatakan: “Seandainya saja dari kita ada utusan kepada Abdulloh bin Ubay supaya ia meminta jaminan keamanan untuk kita dari Abu Sufyan, wahai manusia, kembalilah kepada kaum kalian sebelum kalian terbunuh.” Ketika itu, Anas bin Nadhr berkata, “Hai manusia, jika Muhammad telah terbunuh, sesungguhnya Robb Muhammad tidak bisa terbunuh, maka berperanglah kalian di atas agama yang telah kalian peluk.” Sementara itu, Rosululloh r pergi ke sebuah batu, sedikit demi sedikit kaum muslimin berkumpul ke tempat beliau, maka turunlah ayat tentang orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh tadi: “Muhammad tak lain adalah seorang rosul dst…”
Sedangkan dari jalur Ibnu Ishaq ia berkata, Al-Qosim bin Abdur Rohman bin Rofi‘ Al-Anshori –ia seorang lelaki dari Bani ‘Adi bin Najjar— menceritakan kepadaku bahwasanya Anas bin Nadhr t menghampiri beberapa orang Muhajirin dan Anshor yang angkat tangan (pertanda menyerah), ia berka-ta, “Apa yang menjadikan kalian duduk-duduk saja?” Mereka mengatakan: “Rosululloh r telah terbunuh.” “Kalau begitu, apalagi yang akan lakukan dalam hidup jika beliau sudah meninggal? Marilah kita mati seperti beliau mati,” kata Anas, lalu ia maju ke arah musuh dan terus berperang hingga terbunuh.” Sampai di sini perkataan penulis
Perkataan ahli tafsir mengenai sebab turun (asbabun nuzul) dan tafsir dari ayat ini terlalu panjang untuk disebutkan seluruhnya di sini, tetapi dari perkataan mereka yang sudah kami sebutkan di atas kita bisa simpulkan bahwa orang-orang yang menyertai Rosululloh r di Uhud dan mendengar berita terbunuhnya beliau saat itu terbagi ke dalam dua jalan (manhaj). Pertama, para pengikut manhaj yang tercela dan kedua pengikut manhaj yang terpuji. Pengikut manhaj tercela adalah mereka yang diingatkan Alloh dalam ayat tadi dan diingatkan akan bahaya manhaj yang mereka tempuh, yaitu menggantungkan amal dengan tokoh walaupun tokoh itu adalah Rosululloh I. Para pengikut manhaj tercela inipun terbagi menjadi dua, satu kelompok patah semangat dalam berjuang, mereka ditimpa kelemahan dan keciutan nyali disebabkan peristiwa dahsyat yang mereka alami sampai mereka berfikir untuk mencari selamat agar tidak terbunuh serta meminta jaminan keamanan dari orang-orang kafir, satu kelompok lagi adalah orang-orang yang kesesatannya lebih parah, mereka ini sampai meyakini keyakinan kufur dan menyatakannya terus terang, merekalah yang mengatakan bahwa kalau beliau nabi tentu tidak terbunuh, atau yang mengatakan kembali saja kalian kepada agama pertama kalian sebelum kalian nanti terbunuh.
Perkataan dua kelompok tercela seperti inilah yang hari banyak sekali digaungkan oleh banyak dari kaum muslimin, mereka menggembar-gemborkannya dalam artikel-artikel, majalah dan jaringan-jaringan informasi; “Kalau jihad yang dilakukan Taliban dan mujahidin arab itu benar, tentu mereka tidak menarik diri dari kota dan tidak akan kalah…” kata mereka. Sebagian lagi mengatakan, “Sebaiknya mujahidin Afghan itu meletakkan senjata saja, menyerah kepada pemerintahan mereka supaya kesusahan mereka berakhir.”
Lihat, ibarat petang dengan malam, tidak ada bedanya, sama saja antara mereka dengan kelompok yang kami kisahkan di atas. Kalau pada kasus perang Uhud, untuk menganggap agama Muhammad batil mereka menjadikan kekalahan perang sebagai tolok ukur, mereka mengingkari risalah beliau ketika mendengar berita terbunuhnya beliau, padahal mereka turut berperang bersama beliau saat itu.
Hari ini, manhaj batil itu kembali terulang dengan lebih jelas dari orang-orang sesat itu, mereka mengatakan kekalahan Taliban dan mujahidin menunjukkan manhaj mereka adalah batil. Lihatlah, sejarah kembali terulang, orang yang sesat dari jalan yang luruspun memiliki contoh terdahulu yang memberikan teladan pada setiap kejahatan.
Namun, orang-orang yang berada di atas petunjuk dan agama Islam yang benar adalah kelompok kedua, kelompok manhaj yang terpuji, manhaj itu dinukil hingga sampai kepada kita oleh pakar-pakar tafsir, langsung dari kancah peperangan Uhud; merekalah yang menyambut berita terbunuhnya Nabi r dengan kata-kata Anas bin Nadhr t ketika ia melewati orang-orang Muhajirin dan Anshor yang meletakkan tangan, ketika itu ia berkata, “Apa yang menyebabkan kalian duduk-duduk saja?” mereka menjawab, “Rosululloh sudah terbunuh.” “Kalau begitu, apa yang kalian perbuat dalam hidup setelah beliau terbunuh? Mari kita mati seperti beliau mati.” Lalu ia maju menyerang musuh dan terus berperang sampai terbunuh.
Manhaj ini juga tercermin pada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq t yang mengatakan ketika Rosululloh r wafat, “Barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal; barangsiapa beribadah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.”
Juga tercermin dalam diri ‘Ali bin Abi Tholib t setelah ia membaca ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul…dst” ia mengatakan: “Demi Alloh, kami tidak akan pernah mundur setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh kalaulah beliau meninggal atau terbunuh, aku akan tetap berperang membela beliau sampai aku mati.”
Inilah manhaj shahabat y seluruhnya, merekalah orang-orang yang beribadah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, setelah Rosululloh I wafat merekalah yang menyambung jalan dan tidak patah arang dalam berjihad, dakwah dan ibadah, mereka tetap berjalan di atas manhaj yang diajarkan Rosululloh I kepada mereka. Ketika menderita kekalahan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘ala:
{وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ}
“Janganlah kalian merasa hina dan rendah, kalian adalah tinggi jika kalian beriman.” [5]
Dan firman Alloh I:
{أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا, قُلْ هُوَ مِنْ عِِنْد أَنْفُسِكُمْ, إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ}
“Apakah ketika kalian ditimpa musibah yang sebelumnya telah menimpa kalian, kalian mengatakan: Bagaimana ini bisa terjadi? Katakanlah (hai Muhammad): Itu berasal dari diri kalian sendiri, sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [6]
Ketika memperoleh kemenangan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘ala:
“Ingatlah ketika dulu kalian sedikit dan tertindas di bumi, kalian takut manusia menerkam kalian kemudian Alloh memberikan tempat kepada kalian dan menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya serta memberi kalian rezeki berupa kebaikan-kebaikan agar kalian bersyukur.” [7]
Inilah manhaj kebenaran yang Alloh ridhoi untuk kita; yaitu amal (perjuangan) digantungkan berdasarkan dalil-dalil syar‘i, menghukumi sesuatu benar atau salah tidak dengan hasil-hasil yang dicapai, tetapi berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah, dalam kejadian apapun.
Kalau ada orang yang menilai peperangan-peperangan berdasarkan hasil akhirnya dengan tolok ukur ini, mau tidak mau ia akan mengatakan –wal ‘iyadzu billah, kita berlindung kepada Alloh—bahwa perang Uhud adalah peperangan batil, Rosululloh r tidak tepat menentukan langkah dengan melakukan perang tersebut, karena beliau kalah, sedangkan kekalahan adalah indikasi batilnya sebuah manhaj. Inilah menurut orang-orang yang jahil dan suka membuat kekacauan dalam tubuh kaum muslimin.
Sudahlah, pokoknya pengikut manhaj bathil di mana mereka mengingkari kenabian Nabi Muhammad r dan kebenaran agama Islam adalah mereka yang mengkaitkan agama dengan orang dan menggan-tungkan jihad dengan tokoh. Manhaj yang mereka pegang ini berdampak kepada kerusakan besar, mereka akan mengingkarikhithah awal dengan alasan ketidak tepatan atau beralasan dengan kegagalan hasil yang dicapai. Ketika seseorang sampai kepada manhaj seperti ini, bisa dipastikan ia akan terperosok ke dalam jurang kekufuran, keputus asaan dan sikap apatis. Inilah manhaj kebanyakan kaum ruwaibidhoh[8] hari ini, yang tidak lagi memiliki rasa malu kepada Alloh dan hamba-hamba-Nya, setiap kejadian ia berpendapat lain dari sebelumnya, jika melihat kemenangan mereka bertambah semangat, mengulang-ulang pujian dan rasa salut. Sebaliknya, ketika menyaksikan kekalahan dan ujian dari Alloh I terhadap para hamba-Nya, mereka akan mengang-gap sesat, membid‘ah-bid‘ahkan, mengkritik, mencaci dan mencela.
Barangkali di antara hikmah Alloh I mengapa mujahidin tertimpa kekalahan adalah untuk menyaring orang-orang yang berada dalam barisan mereka, itu pertama; selanjutnya menyaring orang-orang yang tadinya simpati dan menganggap dirinya bagian dari mujahidin. Alloh telah kuak trik-trik dan sifat-sifat mereka secara mendetail, Alloh berfirman:
“Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang-orang yang sangat berlam-bat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata:”Sesungguhnya Alloh telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka” Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Alloh, tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia:”Wahai, kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).” [9]
Dan berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu’min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Alloh mereka berkata:”Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu” Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:”Bukankah kami (turut berpe-rang) bersama kamu” Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: “Bukankah kami turut memenangkan kamu, dan membela kamu dari orang-orang mu’min.” Maka Alloh akan memberi keputusan di antara kamu di hari dan Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” [10]
Memang, Jihad ini tidak akan mampu dilaksanakan kecuali oleh orang yang pantas memikulnya, karena untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan di muka bumi ibarat unta menempuh luasnya padang pasir. Demikian juga hari ini, tidak ada yang mampu membela panji jihad ini selain orang yang sudah menyiapkan dirinya untuk menanggung bala dan ujian. Adapun orang yang bermanhaj tak jelas dan mengambang, tidak mengerti apakah sebenarnya dirinya berposisi sebagai pembela jihad ataukah yang menentang, maka cukuplah dengan ayat-ayat di atas Alloh menyingkap teknik-teknik berkelit mereka, dan dalam surat At-Taubah diungkapkan bagaimana mereka tampak dihinakan lantaran teknik-teknik berkelit gaya syetan yang mereka gunakan sekaligus mengungkap kedok dari manhaj mereka yang batil.
Sesungguhnya menggantungkan jihad atau pertempuran dengan orang-orang tertentu hanya akan membuahkan kekalahan yang jelas. Kalaulah kekalahan itu bukan di medan pertempuran, secara moril kekalahan itu sudah terjadi berupa rasa futur (patah arang) dari berjihad ketika suatu saat nanti para komandan itu hilang yang mana tadinya mereka sangka kemenangan hanya bisa diraih dengan keberadaan mereka.
Maka dari itu, keliru kalau kaum muslimin menggan-tungkan urusan kepada orang atau tokoh tertentu. Sebab itu, jihad ini harus dibebaskan dari ikatan berupa tokoh-tokoh. Benar kita memang memerlukan ke-qiyadah-an untuk mempersatukan para mujahidin, kita juga memerlukan qiyadah untuk menyusun langkah dan strategi; tetapi hilangnya qiyadah bukan berarti ikatan antar kaum muslimin dengan jihad harus lepas. Karena sebagaimana dulu jihadlah yang melahirkan para komandan sekelas mereka, dengan terus berlangsungnya jihad kelak akan lahir juga komandan-komandan baru yang profesional. Sejarah menjadi bukti; tidak ada satu zamanpun berlalu setelah wafatnya Nabi r kecuali di sana ada singa-singa yang membela agama ini, sampai-sampai tidak mungkin orang bisa mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada singa-singa pembela agama. Para wanita muslimat tak pernah mandul untuk melahirkan orang-orang sekelas Umar bin Khotob, Ali bin Abi Tholib, Kholid bin Al-Walid, Miqdad, ‘Ikrimah, Sholahuddin dan Komandan Quthz (atau Qatazh). Umat ini ibarat hujan, tidak bisa ditebak di mana berkah kebaikannya berada; apakah saat pertama kali turun atau ketika hujan mau berhenti.
Walaupun kaum muslimin kehilangan komandannya, mereka yang sudah tergembleng untuk tidak meng-gantungkan jihad dengan simbol tokoh akan semakin mantab berjalan di atas manhaj dan jalan yang ia yakini. Sebab mereka beribadah kepada robb yang mewajibkan jihad, bukan kepada komandan jihad. Komandan itu akan muncul di bumi pertempuran ketika ia sendiri menantang maut sebagaimana prajuritnya menantang maut, bahkan komandanlah yang senantiasa mencari kesyahidan, yang menunggu-nunggu hari di mana ia bertunangan denganhuurun ‘Iin (bidadari nan bermata jeli), menunggu saat-saat mulia untuk bisa melihat Alloh robb semesta alam; para komandan itu sangat-sangat merindukan hari itu, ia berusaha meraih dan selalu mencita-citakannya.
Jika para komandan itu berhasil meraih apa yang ia cita-citakan, misalnya Mulla Muhammad ‘Umar terbunuh, Syaikh Usamah terbunuh, Komandan Syamil Basayev terbunuh, Komandan Khothob terbunuh, atau komandan jihad di bumi manapun terbunuh –semoga Alloh menjaga mereka semua-, maka tercapainya apa yang mereka cita-citakan berarti sebuah kemenangan besar bagi mereka. Adapun jihad tidak akan pernah terbengkalai, sebab Alloh telah jamin keberlangsungannya hingga hari kiamat dan menjanjikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya jika mereka memenuhi syarat-syarat terperolehnya kemena-ngan, baik para komandan itu bersama mereka atau terbunuh di jalan Alloh I.
Maka sudah tidak selayaknya kita menggantungkan jihad dengan orang atau mengikat suatu peperangan dengan tokoh, sebagaimana dikatakan Syaikh Sulaiman Abu Ghoits belum lama ini: “Kalau Usamah terbunuh, seribu Usamah akan lahir memikul panji jihad sepeninggalnya.”
Syaikh Usamah sendiri mengatakan dalam salah satu tayangan wawancara ketika beliau ditanya tentang kemungkinan hancurnya jaringan yang menghubungkan antara tanzim Al-Qaeda dengan mujahidin Afghan dan Arab jika beliau terbunuh: “Terbunuhnya saya, saya rasa itu adalah kesyahidan di jalan Alloh I, inilah yang justru saya cita-citakan, saya memohon kepada Alloh agar berkenan menganugerahi saya kesyahidan, Usamah tidak lain hanyalah satu dari bagian umat Islam, dalam tubuh umat masih banyak perwira-perwira yang siap menjadi tumbal agama ini dengan mengga-daikan nyawa dan apa saja yang ia miliki, jadi Usamah bukan satu tokoh yang mewakili umat, ia hanyalah pemikul manhaj yang oleh anggota umat Islam lainnya juga diyakini.”
Sebagai penutup pembahasan ini, sekali lagi kami ingatkan kaum muslimin seluruhnya agar jangan menggan-tungkan jihad dengan simbol tokoh atau menggantungkan peperangan dengan orang. Ini adalah manhaj batil dan sangat tidak baik yang bisa merusak agama dan dunia.
Jihad ini adalah salah satu dari syiar Alloh I; di antara prinsip baku yang tidak akan berubah adalah ia terus berlangsung hingga hari kiamat.
Dulu, setelah Nabi Muhammad r wafat, manhaj jihad para shahabat y tidak pernah berubah, bahkan penaklukan-penaklukan terus berlangsung.
Ketika Abu Bakar t meninggal, negara Islam semakin meluas dan syiar jihad tidak terpengaruh dengan kematian beliau.
Ketika ‘Umar bin Khothob t terbunuh, kaum muslimin justeru semakin tersebar di seluruh penjuru dunia. Demikian-lah keadaan kaum muslimin dari generasi ke generasi.
Di antara prinsip baku kita adalah: Jihad ini sebuah keyakinan dan syiar agung, ia tidak bisa berubah atau terganggu dengan hilangnya tokoh atau komandan tertentu.
Kita memohon kepada Alloh I agar menunjuki kita jalan yang lurus, mengangkat keadaan umat kita dan mengangkat harga dirinya di atas bangsa-bangsa kafir di seluruh penjuru bumi, sesungguhnya Alloh I lah yang berhak dan Maha Kuasa untuk itu.

[1] QS. Ali Imron: 143
[2] QS. Ali Imron: 144
[3] QS. Fathir: 11
[4] QS. Al-An‘am: 2
[5] QS. Ali Imron: 139
[6] QS. Ali ‘Imron: 165
[7] QS. Al-Anfaal: 26
[8] Mengenai makna ruwaibidhoh, dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya bahwa Nabi r bersbda akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh penipuan. Pembohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap pembohong. Pengkhianat dipercaya. Dan orang yang bisa dipercaya dianggap pengkhianat. Serta, kaum ruwaibidhoh berbicara. Para sahabat bertanya, “apa itu ruwaibidhoh, hai Rosululloh?”. Beliau menjawab, “orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak.”
[9] QS. An-Nisâ’: 72 – 73
[10] QS. An-Nisa’: 141

0 komentar:

Posting Komentar