Afwan

Blog Sedang Dalam Renovasi Karena Pernah Terjadi Kesalahan,, Sekarang Sedang Di Perbaiki,, Maaf Jika Sedikit Berantakan ^^

Makasih,,,

Nb : sulaiman

Assalamu'alaikum Wa'rohmatillohi Wa'barokatuh

kami tidak memakasa orang kafir untuk masuk islam

(Qs. [2] Al-baqarah : 256)

1
لاَإِكْرَاهَفِيالدِّينِقَدتَّبَيَّنَالرُّشْدُمِنَالْغَيِّفَمَنْيَكْفُرْبِالطَّاغُوتِوَيُؤْمِنبِاللّهِفَقَدِاسْتَمْسَكَبِالْعُرْوَةِالْوُثْقَىَلاَانفِصَامَلَهَاوَاللّهُسَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. 2:256)


~ Perkumpulan Mujahid Muda Islam ~

Rabu, 13 Oktober 2010

Mereka Berkata, Maka Katakanlah!

Mereka Berkata, Maka Katakanlah!

Jika mereka mengatakan apa jihad itu? Maka katakanlah
Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, telah menjawab pertanyaan ini dengan tegas ketika ada sahabat yang bertanya:
َأَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ؟  قَالَ r اَلْجِهَادُ قَالَ وَمَا الْجِهَادُ؟  قَالَ r أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيْتَهُمْ  قَالَ فَأَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟  قَالَ r مَنْ عَقَرَ جَوَادَهُ وَأُهْرِيْقَ دَمُهُ
” Apakah hijroh itu?” Beliau menjawab,”Engkau meninggalkan amalan jelek.” Orang tersebut bertanya lagi,”Lalu hijroh bagaimanakah yang paling utama itu?” Beliau menjawab,” Jihad.” Orang tersebut bertanya lagi,”Apakah jihad itu?” Beliau menjawab,” Engkau memerangi orang kafir jika kamu bertemu mereka.” Orang tersebut bertanya lagi,” Lalu bagaimanakah jihad yang paling utama itu?” Beliau menjawab,” Siapa saja yang terluka kudanya dan tertumpah darahnya”[1]
Hadits ini shohih diriwayatkan oleh Ahmad. Adapun lafadz yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud berbunyi – dan riwayat ini Hasan — :
أيُّ الجهاد أفضل؟ قال: من جاهد المشركين بماله ونفسه؟ قيل: فأي القتل أشرَفُ؟ قال: من أُهريق دمه وعُقر جوادُه
“Jihad apakah yang paling utama? Beliau menjawab: Orang yang berjihad melawan orang-orang musyrik dengan harta dan jiwa raganya? Lalu beliau ditanya lagi: Mati yang bagaimana yang paling mulia? Beliau menjawab Orang yang tertumpah darahnya dan terbunuh kudanya.”
Dengan demikian maka harta yang banyak tidak bisa menggantikan kedudukan jihad dengan jiwa dan raga, lalu bagaimana dengan orang yang duduk belajar untuk mendapatkan harta atau membelah teluk ?.
Memang jihad itu bermacam-macam [Jihad dengan tombak, dengan harta, dengan lisan dan tangan] kalau anda mau silahkan katakan Perang Harta dan Perang Dakwah akan tetapi jika kata Perang jika diungkapkan secara lepas maka menurut ‘urf ((kebiasaan) salafush sholih adalah : Jihad itu Perang. Perhatikanlah ketika ibunda ‘Aisyah rodliyallohu ‘anha bertanya:
يا رسول الله: هل على النساء من جهاد؟
“Wahai Rosululloh, apakah wanita itu wajib berjihad ?”
Maka Rosululloh menjawab:
عليهن جهاد لا قتال فيه، الحج والعمرة
“Kaum Wanita wajib berjihad yang tidak pakai perang, yaitu haji dan umroh.”
Hadits ini sanadnya Shohih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah. Sedangkan dalam riwayat Al-Bukhori berbunyi:
نرى الجهاد أفضلَ الأعمال أفلا نجاهد؟…
“Kami melihat bahwa jihad itu amalan yang paling utama .. Apakah kami tidak kami tidak berjihad ?…”

Dengan demikian ibunda ‘Aisyah memahami bahwa jihad itu perang

Dan apakah para sahabat ketika mengatakan:
نحن الذين بايعوا محمداً           على الجهاد ما بقينا أبداً
Kamilah orang-orang yang berbai’at kepada Muhammad
Untuk berjihad selama kami masih hidup
Apakah yang mereka maksudkan bukan perang ?
Dan inilah yang difahami oleh para ulama’ sebagaimana yang disebutkan dalam buku “ ‘Ibar Wa Bashoo’ir” karangan Syaikh Dr. Abdulloh ‘Azzam rohimahulloh hal. 9 dan seterusnya:
” Empat imam madzhab bersepakat bahwasanya jihad adalah perang dan tolong-menolong dalam berperang untuk menegakkan kalimatulloh:
1- Madzhab Hanafi:
Dalam kitab Fathul Qodir V/187 disebutkan: ” Jihad adalah mendakwahi orang kafir kepada Dien yang benar dan memerangi mereka jika mereka tidak mau.” Dan Imam Al-Kasani berkata dalam kitab Al-Bada’i’ VII/97: ,” Mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan dalam berperang di jalan Alloh dengan jiwa raga, harta dan lainnya.”

2- Madzhab Malikiy: Lihat kitab Aqrobul Masalik karangan Ad-Dardiir.

3- Madzhab Syafi’i:
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata,” Dan secara syar’i adalah mengerahkan tenaga dalam memerangi orang-orang kafir.” VI/77 Darul Fikri
4- Madzhab Hambali:
“Memerangi orang-orang kafir.” Matholibu Ulin Nuha II/497. Juga dalam kitab ‘Umdatul Fiqhi Wa Muntahal Irodah disebutkan: “Jihad adalah perang dengan mengerahkan segala kemampuan untuk meninggikan kalimatulloh.” Selesai penukilan dari Syaikh Abdulloh Azzam dengan sedikit perubahan.
Ibnu Rusyd berkata dalam kitabnya Muqoddimat I/369: ,” Dan Jihadus Saif adalah memerangi orang-orang musyrik berlandaskan Dien. Maka setiap orang yang berpayah-payah karena Allah berarti telah berjihad di jalan Allah. Namun sesungguhnya jihad fi sabilillah kalau diungkapkan secara lepas maka tidak ada maksud lain selain memerangi orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dalam keadaan hina.”
Dengan kasus lain: sesungguhnya orang yang meninggalkan perkara-perkara yang haram disebut sebagai “Sho’im” karena dia shoum[2] dari perkara-perkara yang diharamkan. Tapi apakah berarti dia dibebaskan dari shoum yang asli (menurut pengertian syar’ii- pent.) yaitu shoum Romadlon??!! Sedangkan Alloh telah mengatakan:
كُتب عليكم القتال
“Telah diwajibkan kepada kalian berperang.”
Sebagaimana Alloh juga telah mengatakan:
كُتب عليكم الصيام
“Telah diwajibkan kepada kalian shoum.”
أفتؤمنون ببعض الكتاب وتكفرون ببعض
Apakah kalian beriman dengan sebagian isi kitab dan kalian mengkafiri sebagian yang lain.?
Ada lagi golongan yang hanya ingi memalingkan makna jihad, mereka mengatakan: “Kami ini sedang berjihad.”!!Untuk membenarkan qu’uud mereka dari jihad. Namun setelah engkau lihat aktifitas kehidupan mereka, rupanya mereka adalah seorang pegawai yang bekerja untuk menghidupi keluarganya, yang lain lagi sebagai pedagang, yang lain lagi sebagai buruh, yang lain lagi sebagai petani, yang lain lagi sedang belajar di kuliyah syari’ah … atau kedokteran atau perekonomian atau ilmu politik .. semuanya memandang dirinya sebagai mujahid dan masing-masing boleh untuk qu’uud dari perang! .. Ya, sebagai mujahid ! sedangkan dia di negerinya makan, minum dan mengajar atau bekerja. Bahkan ada yang tidak tahu malu, ia menganggap bahwa yang sedang dia lakukan itu lebih baik dari pada perang itu sendiri! Orang-orang yang kacau pemikirannya dan menyelewengkan (makna jihad) itu harus diberikan tambahan penjelasan dari Al-Qur’an. As-Sunnah dan siroh Tabi’iin:
2- Jika mereka mengatakan: Kenapa kamu mengobarkan semangat untuk berperang sekarang … Untuk apa keluar berjihad, karena zaman kita lain dengan zaman mereka, dan setiap zaman itu ada fuqoha’nya sendiri. Cukup sebagai alasan kita adalah kebanyakan – kalau tidak kita katakan semua — para ulama’ dan para reformis yang mempunyai kesadaran tidak keluar untuk (berjihad). Apakah masuk akal mereka semuanya berdosa. Sedangkan kamu berada di medan (perang) sendirian! Karena jihad pada hari ini tidak menggunakan pedang dan pisau akan tetapi dengan kebudayaan; dan kita harus melakukan I’dad Imani dan belajar ilmu syar’ii serta mengajarkannya kepada manusia sebelum bertempur karena kebodohan dan lemahnya kesadaran sudah sangat merajalela dikalangan manusia; oleh karena itu kobarkanlah semangat pada manusia agar melakukan hal ini (I’dad imani-pent.) dan juga untuk berdakwah, tashfiyah, tarbiyah dan membantah syubhat-syubhat musuh,dan juga kobarkanlah semangat untuk belajar ilmu perekonomian, ilmu falsafat, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu tentang media massa, ilmu komunikasi, ilmu pertanian, ilmu perdagangan, ilmu industri, ilmu kedokteran, ilmu arsitektur, ilmu perturisan, ilmu teknologi, ilmu ‘ashronah dan ilmu-ilmu semacam itu! Karena ini semua adalah jihad dan kita harus memiliki bangunan bawah tanah sebelum berperang!
Maka katakanlah kepada mereka:
1- Akan tetapi Al-Jabbaar (Alloh) memerintahkan dari atas langit yang ketujuh kepada NabiNya:
يا أيها النبي حَرِّض المؤمنين على القتال
“Wahai Nabi, kobarkanlah semangat kaum muslimin untuk berperang.”
Pada waktu kamu malah melemahkan semangat untuk berperang, dan supaya kamu dapat menipu orang-orang yang lemah imannya kamu mengaku sedang menyiapkan perang, padahal kenyataannya kamu dusta!
Bukankah Robb kita telah mengatakan kepada kita:
فقاتل في سبيل الله لا تُكَلَّفُ إلا نفسَك وحرِّض المؤمنين …
“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani (diperintah) kecuali (kewajibanmu) sendiri dan kobarkanlah semangat orang-orang beriman …”
Dan Alloh tidak mengatakan: Maka belajarlah kamu perekonomian atau arsitektur  meskipun kamu sendirian!
Bukankah Robb kita telah memerintahkan kita:
فإذا لقيتم الذين كفروا فَضَرْبَ الرقاب
“Maka jika kalian bertemu dengan orang-orang kafir, penggallah leher mereka.” ??
Dan Alloh Tabaraka wa Ta’ala tidak mengatakan: maka adakanlah pengajian dan forum-forum untuk menolak syubhat-syubhat … atau kalian belum berjumpa dengan orang-orang kafir?!
فاقتلوا المشركين حيث وَجَدْتُموهم
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian jumpai mereka.”
2- Karena sekarang jihad hukumnya adalah fardlu ‘ain berdasarkan kesepakatan para ulama’, maka jihad itu seperti sholat dan shiyam bahkan jihad lebih didahulukan – pada saat bertabrakan – dari pada sholat menurut tiga imam madzhab kecuali al-hanabilah (madzhab hambali),  dan jihad lebih didahulukan menurut semua (imam 4 madzhab) yang dengan demikian orang yang meninggalkannya adalah pelaku dosa besar,sebagaimana yang dikatakan oleh “Ibnu Hajar Al-Haitami”, dan “Al-Quroofiy” menyebutkan bahwa beberapa kewajiban atau hak itu jika saling berbenturan maka didahulukan yang mudloyyaq (waktunya terbatas sehingga tidak dapat diundur-pent.) dari pada yang muwassa’ (waktunya longgar –pent.) karena tadlyiq (keterbatasan waktu) itu menunjukkan bahwa syari’at itu lebih mementingkannya dari pada yang lain, maka yang dikhawatirkan tidak akan terlaksana karena akan berlalu, itu lebih didahulukan dari pada kewajiban yang tidak dikhawatirkan akan ketinggalan, meskipun kewajiban itu lebih tinggi kedudukannya.
Para fuqoha’ telah bersepakat bahwasanya jihad itu menjadi fardlu ‘ain terhadap seseorang jika kholifah itu menunjuk orang tersebut untuk berjihad; maka seandainya ada seseorang yang terpandang yang mempunyai aktifitas dakwah, dia orang besar dan tersohor , dan banyak perannya pada kaum muslimin, dan dia hidup pada zaman khilafah rosyidah, kemudian kholifah itu datang kepadanya dan mengatakan: “Keluarlah untuk berjihad – padahal ketika itu jihad fardlu kifayah – !” Apakah boleh seorang da’i yang terpandang dan seorang ‘alim cerdas tersebut untuk tidak taat atau mengatakan: Saya disini lebih bermanfaat – menurut pendapatnya – lalu dia tidak mau keluar  (untuk berjihad-pent.) ?! Berdasarkan kesepakatan jawabannya : Tidak, sampai meskipun aktifis tersebut berpendapat bahwa keberadaannya lebih bermanfaat bagi kaum muslimin.
Maka lihatlah ! Ini apabila yang mengatakan kepadamu seorang kholifah: Keluarlah untuk berperang! Lalu bagaimana jika yang mengatakan kepada kamu adalah Robbnya kholifah dan utusan Robbnya kholifah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  :
انفروا خفافاً وثقالاً وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله  ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون
“Keluarlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat dan berjihadlah kalian dengan harta dan jiwa raga kalian di jalan Alloh. Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”
Dan kemaslahatan itu terletak pada keluar pergi berperang, karena pada hari ini hukumnya adalah fardlu ‘ain, dan kewajiban itu harus dikerjakan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda. Dan ayat itu menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban berperang itu dengan harta dan jiwa raga; tidak hanya dengan harta atau hanya dengan kata-kata dan do’a saja, lebih dari pada itu bahwa an-nafiir itu secara bahasa tidak mempunyai lebih dari satu arti – dalam pembahasan kita – , dan silahkan lihat buku-buku bahasa.
Jihad ketika fardlu ‘ain, seorang anak harus keluar tanpa ijin dengan kedua orang tuanya, maka apakah diperbolehkan bagi seorang pelajar filsafat atau perekonomian atau media massa atau … untuk keluar melaksanakan aktifitasnya tanpa ijin kedua orang tuanya sekarang?! Dan jika seorang ibu melarang anaknya agar tidak pergi mengikuti ujian “perekonomian” bukankan dia wajib mentaati ibunya?
Akan tetapi jika seorang ibu melarang meninggalkan jihad ketika hukumnya fardlu ‘ain, ia tidak boleh ditaati? Dengan demikian manakah yang lebih penting: Perang atau belajar perekonomian?! Apakah kamu tidak melihat sebagaimana yang saya lihat sekarang bahwa I’dad-I’dad di negerimu yang kamu katakan itu hanyalah angan-angan semu seperti kabut yang menghalangi pandangan!! Sesungguhnya I’dad yang benar itu adalah I’dad untuk perang, adapun yang lainnya hanya mengikuti, dan itu merupakan konsekuensi, akan tetapi kalajengking itu harus dipukul kepalanya bukan dibacakan sya’ir, buku, cerita atau periwayatan-periwayatan yang tersebar di pasaran para kalajengking itu supaya mereka meninggalkan kekejian mereka !!
Dan tidak tersisa lagi alasan kecuali mereka mengagetkan kami dengan mengatakan bahwa belajar di “Pondok Pesantren” juga I’dad fii sabiilillaah, dan kita semua masing-masing berada di dalah satu bidang dari bidang-bidang pertahanan Islam !!!!
Dan kamu jangan heran wahai sahabatku karena zaman kita ini adalah zaman yang penuh dengan keajaiban, dan hiburlah dirimu dengan hadits:
…وإعجابَ كل ذي رأيٍ برأيه
“…. dan setiap orang merasa bangga dengan pendapatnya.”
Meskipun hadits ini diperselisihkan ke shohih annya, dan At-Tirmidzi mengatakan: “Hasan Ghoriib”.
Dan apabila jihad itu fardlu ‘ain seseorang itu (harus) keluar (untuk berjihad) walaupun tanpa seizin orang yang menghutanginya sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqoha’. Tapi apakah boleh kamu keluar untuk belajar di “Jerman” misalkan tanpa kamu membayar hutangmu dengan alasan bahwa belajarmu dan I’dad fikriy mu lebih baik dari pada I’dad qitaliy atau lebih utama dari pada perang itu sendiri!!? Atau hukum-hukum itu telah berubah bersamaan dengan perubahan zaman?!
Berikut ini saya sampaikan kepadamu perkataan para ulama’ tentang izin kepada orang yang menghutangi:
  1. Dalam kitab Al-Mughniy karangan Ibnu Qudamah IX/171 disebutkan: “Adapun jika jihad itu fardlu ‘ain maka tidak ada izin kepada ghorim (orang yang menghutangi) nya karena kewajiban itu tergantung pada dirinya sendiri, sehingga ia lebih didahulukan dari pada tanggungannya yang lain sebagai mana fardlu ‘ain-fardlu ‘ain yang lainnya, akan tetapi hendaknya dia jangan masuk ke tempat-tempat yang menurut perkiraannya dia akan terbunuh seperti perang tanding dan berdiri pada barisan depan, supaya dia tidak mengorbankan hak orang lain; meskipun dia telah meninggalkan harta untuk membayar hutang dia telah meninggalkan jaminan maka dia boleh berperang dengan tanpa izin. Ahmad telah menyatakan tentang orang yang telah meninggalkan harta untuk membayar ..”  maksudnya dia boleh pergi ketika jihad fardlu kifayah. Wallohu a’lam.
  2. Ibnu Taimiyah: “Jika musuh memasuki nagara Islam maka tidak diragukan lagi atas wajibnya melawan bagi orang yang paling dekat kemudian orang yang berada di dekatnya, karena negara Islam itu ibarat satu negara, dan sesungguhnya wajib pergi ke daerah itu dengan tanpa izin irang tua atau ghorim.”
Dan ketika jihad itu fardlu ‘ain, ia lebih di dahulukan dari pada sholat menurut empat imam madzhab kecualihanabilah (madzhab hambali) dan orang yang meninggalkannya berdosa sebagaimana orang yang meninggalkan shiyam. Lalu apakah aktifitas kalian seperti belajar, pesta dan forum-forum pertemuan … lebih di dahulukan dari pada sholat, zakat dan shiyam ketika saling berbenturan?! Apakah harapan kalian terhadap kemaslahatan kaum muslimin lebih besar dari pada Alloh dan RosulNya dan jumhur ulama’?!!!
Dan saya bertanya-tanya: Jika ada ujian yang lamanya 6 jam sejak adzan dzuhur sampai ‘isya’, dan kamu akan terlewatkan 3 sholat, apakah kalian akan membolehkan seseorang untuk meninggalkan sholat tersebut dengan alasan nanti pada masa yang akan datang yang masih lama ketika dia membuka praktek pengobatan akan menyisihkan 30 % dari pendapatannya untuk athfaalul hijaaroh (anak-anak Palestina yang berjuang dengan batu).?! Apakah kamu akan memperbolehkan seorang pelajar arsitektur untuk meninggalkan sholat jum’at jika waktu ujiannya melalui waktu sholat nya ?
Akan tetapi mujahid hakiki yang berada di medan jihad disyari’atkan baginya untuk meninggalkan sholat jika dia tidak mampu melaksanakannya ketika berperang sebagai mana yang terjadi pada perang Khondaq.
Dengan lebih jelasnya: Jika seseorang akan masuk sekolah di “Eropa” akan tetapi dia harus minum beberapa tetes air yang berfungsi untuk mendeteksi keadaan jasmaninya pada hari-hari di bulan romadlon, dan jika dia tidak mengikuti pemeriksaan akan ditolak untuk masuk kuliyah wahmiyah (kuliah yang hanya angan-angan) itu, apakah kalian memperbolehkannya mengikuti tes kesehatan itu?! Akan tetapi jihad jika fardlu ‘ain lebih didahulukan dari pada shoum berdasarkan kesepakan seluruh ulama’, maka dia boleh berbuka! Dengan demikian manakah yang lebih utama antara kuliyah dan jihad …..!
Dalam bentuk yang terakhir: Jika ujian itu mensyaratkan seseorang harus menanggalkan pakaiannya, supaya diperiksa didepan komputer dan para pengawas ahli dengan menggunakan sinar tertentu, apakah kalian memperbolehkannya dengan alasan dia akan masuk “fakultas atom” lalu dia akan belajar bagaimana membuat bom atom lalu dengan itu kita bisa mengalahkan Isra’il?!
Itu semua hanya angan-angan wahai manusia !
يُحِلُّون الحرام إذا أرادوا     وقد بان الحلال من الحرام
Mereka menghalalkan yang haram jika mereka mau
Padahal telah jelas mana yang halal dan mana yang haram
Kita di hadapkan dengan dua permasalahan dan jangan sekali-kali kamu mencampur adaukkannya, pertama: Mengetahui hukum jihad pada hari ini, wajib apa tidak ? kedua : melaksanakan hukum ini; dan jauh berbeda antara orang yang mengingkari kewajibannya lalu dia tidak melaksanakannya dengan orang yang mengakui kewajibannya dan dia mengaku bersalah dan dosa!
Jihad itu menurut jumhur (mayoritas ulama’) fardlu kifayah, yang dilaksanakan satu tahun sekali, dan cukup sebagai dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada pamannya Abu Tholib ketika menjelang kematiannya:
أريد منهم كلمة واحدةً تَدين لهم بها العرب وتُؤَدّي إليهم العجم الجزية،  قال: كلمةٌ واحدة!! قال: كلمةٌ واحدة، …”لا إله إلا الله” فقالوا: إلهاً واحداً ما سمعْنا بهذا في المِلَّة الآخرة، إنْ هذا إلا اختلاق
“Aku menginginkan dari mereka satu kalimat saja yang akan menjadikan orang-orang Arab tunduk kepada mereka dan orang-orang ‘ajam (selain Arab) membayar jizyah.” Abu Tholib mengatakan: “Satu kalimat?!” Beliau bersabda: “Satu kalimat … “laa ilaaha illallooh” (tidak ada ilaah selain Alloh) maka mereka mengatakan;  Satu ilaah, kami belum pernah mendengar hal ini pada millah (agama) yang terakhir, ini hanyalah mengada-ada.”  Ahmad dan At-Tirmidziy dan ini hadits Hasan.
Akan tetapi jihad telah berubah menjadi fardlu ‘ain, dan meskipun pada hari ini jihad itu fardlu kifayah, maka kifayah itupun belum terlaksana pada hari ini. Oleh karena itu kami katakan bahwa jihad qitaaliy pada hari ini adalah kewajiban yang hilang. Dan berikut ini saya sampaikan kepadamu perkataan ahludz dzikri (ulama’) :
  1. Al-Qurthubiy berkatadalam tafsirnya VIII/152: “ …Fardlu juga terhadap imam mengirim satu kelompok kepada musuh setiap tahun sekali, ia keluar sendiri dengan kelompok tersebut atau dia mewakilkan kepada orang yang dia percayai untuk mengajak orang-orang kafir kepada Islam .. dan menahan gangguan mereka dan meng idzhar kan dien Alloh terhadap mereka sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah .. dan ia – seorang muslim — berperang dengan jiwaraganya jika dia mampu dan jika tidak dia memberikan perbekalan kepada orang yang berperang …”
  2. Muqoddimah Ibnu Kholdun I/230-231: “Al-Miilah Al-Islamiyah itu jihad disyari’atkan padanya untuk menyampaikan dakwah kepada semua manusia dan membawa seluruh manusia ke pada dienul Islam baik dengan suka rela maupun terpaksa, maka dibuatlah sistem khilafah dan kerajaan padanya,  adapun selain Millah Islamiyah jihad padanya tidaklah untuk seluruh manusia, dan jihad padanya tidak disyari’atkan kecuali untuk mempertahankan diri saja, sehingga orang yang melaksanakan diin padanya tidak mesti mengatur kerajaan … dan sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, karena mereka tidak terkena taklif untuk berkuasa atas seluruh umat sebagaimana Al-Millah Al-Islamiyyah,  sesungguhnya mereka hanya dituntun melaksanakan dien mereka pada pribadi-pribadi mereka, oleh karena itu Bani Israil sepeninggal Musa dan Yusya’ ‘alaihimas salam selama sekitar 400 tahun tidak memperhatikan masalah kekuasaan akan tetapi yang mereka perhatikan adalah melaksanakan dien mereka saja ..”
  3. Ibnu Katsir dalam tafsirnya II/402-403: : “Alloh memerintahkan orang-orang beriman untuk memerangi orang-orang kafir secara berurutan dari yang paling dekat dengan wilayah Islam. Oleh karena itu Rosululloh memulai perang melawan orang-orang musyrik yang berada di jazirah Arab. Ketika Alloh telah menaklukkan Mekah, Madinah. Tho’if, Yaman, Yamamah, Hijr, Khoibar, Hadl-romaut dan negeri di jazirah Arab lainnya, dan manusia dari seluruh penjuru Arab masuk Islam dengan berbondong-bondong, maka beliau mulai memerangi Ahlul kitab. Maka beliaupun bersiap-siap untuk memerangi Romawi yang mana mereka itu bangsa yang paling dekat dengan jazirah Arab. – sampai beliau mengatakan – setelah itu kewajiban itu dilaksanakan oleh sahabat dan penggati beliau yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sungguh agama ini telah miring dan hampir saja runtuh, maka Alloh pun memperkokoh pondasinya, dan mengembalikan lagi orang yang lari dari agama meskipun ia tidak suka. Maka dikembalikanlah kembali orang yang murtad ke dalam Islam. Ia mengambil kembali zakat makanan dari orang yang tidak mau membayarkannya. Dan ia jelaskan kebenaran kepada orang yang tidak mengetahuinya. Ia laksanakan risalah rusululloh. Lalu ia mulai mempersiapkan pasukan Islam untuk memerangi Romawi, para penyembah salib. Dan memerangi Persi, para penyembah api. Maka lantaran berkah dari dutaNya, Alloh menaklukkan berbagai negeri. Ia bikin murka Kisro (gelar raja Persi) dan Qoishor (gelar raja Romawi)  berseta orang-orang yang mentaati keduanya. Lalu ia belanjakan harta benda mereka dijalan Alloh, sebagai mana hal itu telah dikabarkan oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.  Kemudian kewajiban itu disempurnakan oleh orang yang ia wasiatkan untuk memerintah setelahnya. Yaitu Al-Faaruuqul Awwaab (pemisah antara kebenaran dan kebatilan lagi banyak bertaubat). Syahidul Mihrob (yang syahid di dalam mihrob). Abu Haf-sh, Umar bin Khothob ra. Maka Alloh membikin geram orang-orang kafir dengan melalui dirinya. Ia hancurkan para pemberontak dan orang-orang munafik. Lalu ia kuasai seluruh kerajaan dari timur sampai barat. – sampai beliau berkata – setiap kali mereka menguasai suatu kaum, mereka berpindah kepada kaum pendosa yang berada di dekatnya, sebagai realisasi firman Alloh Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنْ الْكُفَّارِ
Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,” (QS. 9:123)
Dan firman Alloh Ta’ala:
ولْيَجِدوا فيكم غِلْظَة
“Dan hendaknya mereka mendapatkan sikap keras dari kalian”
Maksudnya; supaya orang-orang kafir itu mendapatkan kekerasan dari kalian dalam peperangan kalian melawan mereka. Karena sesungguhnya orang mukmin yang sempurna itu adalah orang yang lemah lembut kepada saudaranya yang beriman dan keras terhadap musuhnya yang kafir, sebagaimana firman Alloh:
أشداءُ على الكفار رحماء بينهم
“….keras terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang kepada sesama mereka.”
Dan Alloh ta’ala  berfirman:
يا أيها النبي جاهد الكفار والمنافقين واغلُظ عليهم ومأواهم جهنم وبئس المصير
“Wahai Nabi berjihadlah kamu terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikaplah keras kepada mereka, dan tempat kembali mereka adalah jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Dan dalam sebuah hadits Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bersabda:
أنا الضحوك القَتَّال
“Saya adalah orang yang suka tertawa dan pembunuh.”
Maksudnya adalah beliau suka tertawa kepada walinya dan pembunuh terhadap musuh-musuhnya .. dan beginilah keadaannya, ketika tiga generasi mulia yang mana mereka itu adalah generasi terbaik dari umat ini, ketika mereka pada puncak keistiqomahan dan melaksanakan ketaatan kepada Alloh, mereka senantiasa dzoohirterhadap musuh mereka, dan mereka senatiasa mendapatkan kemenangan yang banyak. Dan musuh-musuh senantiasa berada di bawah dan dalam kerugian, kemudian ketika terjadi fitan (kekacauan) dan ahwaa’ (hawa nafsu) serta perselisihan antar raja, musuh-musuh mulai mengincar daerah-daerah pinggiran negeri Islam dan mereka bergerak maju ke daerah-daerah tersebut, maka mereka tidak tertahankan karena para menguasa sibuk dengan sesama mereka, lalu mereka maju ke wilayah Islam, maka mereka mengambil banyak dari negara Islam dari pinggiran-pinggirannya, kemudian mereka terus maju sampai mereka menguasai banyak dari wilayah Islam … maka setiap kali ada seorang raja dari raja-raja Islam yang berdiri dan mentaati perintah-perintah Alloh ta’ala dan bertawakkal kepada Alloh Azza wa Jalla , Alloh ta’ala membukakan wilayah-wilayah tersebut dan merebut kembali dari musuh-musuh sesuai dengan kadar walaayah Alloh Ta’ala yang ada padanya …”
  1. Dan dalam kitab Ahkaamul Qur’aan karangan At-Tahaanuwiy II/330 cetakan Karachi disebutkan,: “Mereka (para ulama’-pent.) ber ijma’ bahwasanya apabila orang-orang kafir itu tetap tinggal di wilayah mereka dan tidak menyerang Daarul Islaam maka imam wajib untuk tidak melewatkan satu tahun berlalu tanpa peperangan, baik dia terjun langsung ikut berperang atau dia mengirim sariyah-sariyah (ekspedisi-ekspedisi) supaya jihad itu tidak terabaikan; karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., dan padara Al-Khulafaa’ Ar-Roosyiduun tidak melalaikan jihad, maka apabila ada satu kelompok kaum muslimin yang telah melaksanakannya, sehingga dengan mereka tercapai penolakan kejahatan orang-orang kafir dan peninggian kalimatullooh, maka gugurlah kewajiban itu dari yang lainnya, dan ketika itu seorang budak tidak boleh keluar (untuk berjihad) tanpa izin tuannya dan tidak boleh perempuan keluar tanpa izin suaminya, dan tidak boleh orang yang mempunyai hutang keluar tanpa izin orang yang menghutanginya, dan tidak boleh seorang anak keluar jika salah satu dari kedua orang tuanyamelarangnya, karena jihad dapat dicukupi oleh orang lain maka tidak ada alasan yang mendesak untuk menggugurkan hak manusia, namun jika tidak ada seorangpun yang melaksanakannya semua orang berdosa kecuali ulidh dhoror (orang buta, pincang dan sakit) di antara mereka, dan mereka ber ijma’bahwasanya wajib atas penduduk sebuah daerah untuk memerangi orang-orang kafir yang berada di sekitar mereka, namun jika mereka tidak mampu orang yang paling dekat dengan mereka (harus) membantunya, dan begitu pula jika penduduk daerah tersebut malalaikan padahal mereka mampu, maka wajib orang yang berada paling dekat dengan mereka untuk melaksanakannya, kemudian kewajiban itu meluas sampai seluruh dunia (jika kewajiban itu tidak terlaksana-pent.) Begitulah disebutkan dalam kitab Al-Madzhari II/203 dan kepada Alloh–lah tempat mengadu tentang perbuatan para penguasa Islam pada zaman kita ini, karena mereka menihilkan jihad sama sekali, mereka hanya melaksanakannya untuk mempertahankan diri saja, padahal Abu Bakar Ash-Shiddiiq Radhiyallahu ‘anhu  mengatakan pada khotbahnya yang pertama kali (ketika diangkat menjadi Kholifah-pent.) :

ما ترك قوم الجهاد إلاّ ذلوا

“Tidaklah sebuah kaum meninggalkan jihad kecuali mereka pasti hina.”
Dan demi Alloh sungguh dia benar.”
  1. Ibnu An-Nuhaas dalam kitab Tahdzibb Masyaari’ul Asywaq hal. 35, mengatakan: “Ketahuilah bahwa jihad (menyerang) orang-orang kafir di negeri mereka (hukumnya) fardlu kifayah berdasarkan kesepakatan ulama’ … dan paling minimal jihad (dilaksanakan) dalam satu tahun sekali … dan tidak boleh satu tahun berlalu tanpa perang dan jihad kecuali karena dhoruuroh …Dan Imam Al-Haroomain Al-Juwainiy mengatakan: Yang terpilih bagi saya adalah jalan yang ditempuh ushuuliyyiin (ahli ushul fiqih), yang mengatakan: Jihad itu adalah Da’wah Qohriyyah, oleh karena itu wajib untuk dilaksanakan sesuai dengan kemampuan, sehingga tidak tersisah di atas muka bumi ini kecuali muslim atau musaalim (orang kafir yang berdamai, menyerah) dan jihad tidak hanya (dilaksanakan) dalam satu tahun sekali, dan tidak boleh ditinggalkan jika mungkin untuk dilakukan lebih dari pada satu kali … Dan Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab Al-Mughniy: Sedikitnya jihad (dilakukan) setiap tahun satu kali, kecuali jika ber’udzur untuk melakukannya, dan jika kebutuhan menuntut untuk melakukan jihad lebih dari satu kali dalam satu tahun, maka wajib dilaksanakan, karena jihad itu fardlu kifayah, dan fardlu kifayah itu wajib dilakukan ketika ada tuntutan kebutuhan.” Habis. Maka jika kaum muslimin lemah, yang menjadai kewajiban mereka adalah Al-I’daad Al-Qitaaliy, karena suatu kewajiban itu jika tidak sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itupun hukumnya wajib.
  2. I’aanatuth Thoolibiin [Syafi’iy] IV/180: “Kifayah itu tercapai dengan cara imam mengisi tsughur (perbatasan) dengan orang-orang yang mencukupi untuk (menghadapi) orang-orang kafir dengan memperkokoh benteng-benteng, khondaq-khondaq (transist) mengangkat para umaroo’ (untuk memimpin perang), atau imam atau wakilnya masuk daarul kufri dengan bala tentaranya untuk memerangi mereka.” Dan dalam IV181:” … fardlu kifayah pada setiap tahun jika orang-orang kafir tetap tinggal di dalam negeri mereka dan tidak berpindah dari nya.”
  3. Mughniy Al-Muhtaaj [Syaafi’iy] IV/209 sampai 220: “Adapun sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., maka orang-orang kafir itu keadaannya ada dua: pertama; mereka diam di negara mereka tidak datang menyerang nageri kaum muslimin maka hukumnya fardlu kifayah sebagaimana yang ditunjukkan oleh sejarahAl-Khulafaa’ Ar-Roosyidiin, dan Al-Qodli Abdul Wahhaab mengatakan bahwa hal ini merupakan ijma’ … dan kifayah itu tercapai dengan cara imam mengisi tsughur (perbatasan) dengan orang-orang yang mencukupi untuk (menghadapi) orang-orang kafir dengan memperkokoh benteng-benteng, khondaq-khondaq (transist) mengangkat para umaroo’ (untuk memimpin perang), atau imam atau wakilnya masuk daarul kufri dengan bala tentaranya untuk memerangi mereka.”
  • Semua uraian di atas adalah berkenaan dengan Jihaddu Ath-Thilabi (offensif) adapun Jihaadu Ad-Daf’i maka berikut ini penjelasannya kami paparkan untuk anda:
  1. Al-Qurthubiy mengatakan dalam tafsirnya VIII/151, ketika manafsirkan ayat:
انفروا خفافاً وثقالاً
“Berangkatlah kalian (berperang) baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat ..”
“ Kadang terjadi kondisi di mana nafiiru al-kull (mobilisasi umum) itu wajib …yaitu ketika jihad telah menjadi fardhu ‘ain lantaran menangnya musuh atas satu daerah dari daerah-daerah kaum muslimin … maka wajib bagi seluruhpenduduk negeri itu untuk an-nafiir dan keluar ke daerah tersebut (untuk berperang) baik dalam keadaan berat maupun ringan, masih muda maupun sudah tua, masing-masing berdasar kemampuannya. Siapa mempunyai ayah  tak perlu idzin ayahnya …. Dan tidak boleh ada yang tidak ikut keluar berperang baik ia muqill (miskin) maupun muktsir (kaya). Jika penduduk negeri itu tak mampu mengusir musuh, maka penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga dengannya wajib sebagai mana wajibnya terhadap pendeduk daerah tersebut untuk keluar ikut mengusir musuh sampai mereka diketahui mampu menahan dan mengusir musuh. .. karena kaum muslimin itu satu sama lainnya harus saling membantu sampai apabila penduduk sebuah daerah yang diduduki orang-orang kafir itu mampu mengusir musuh gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya, dan jika musuh mendekati daarul Islaam dan mereka belum memasukinya, mereka juga wajib keluar (untuk melawannya) sampai dien Alloh itu dzohir dan walayah itu terjaga … dan tidak ada perselisihan dalam masalah iniJika ada yang mengatakan: Apa yang dilakukan oleh satu orang jika semua orang melalaikannya? … Maka dijawab: ia menebus seorang tawanan … dan ada yang mengatakan [yang mengatakan Ibnu Al-‘Arobiy]: Musuh telah menduduki daerah kita … pada tahun 527 mereka meraja lela di wilayah-wilayah kita [maksudnya Andalusia / Spanyol] menawan orang-orang baik kita dan memasuki wilayah kita dengan jumlah yang membikin manusia takut,   jumlahnya banyak, maka saya katakan kepada al-waliy (penguasa daerah): … inilah musuh Alloh ta’ala telah masuk dalamasy-syaroki wa asy-syabakati (jaring dan jebakan/ maksudnya ke dalam wilayah Islam-pent.) maka hendaknya seluruh manusia keluar (untuk menghadapinya) sampai tidak tersisa lagi seorangpun diseluruh daerah lalu mengepung mereka sesungguhnya musuh itu pasti akan hancur jika Alloh Subhanahu wa Ta’ala memudahkan; maka dosa dan maksiyat mendominasi, dan setiap orang bagaikan musang yang bersembunyi di sarangnya meskipun dia melihat perang di sampingnya. Maka innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.”
  1. Dan Ibnu Hajar Al-Haitamiy mengatakan dalam kitab Az-Zawaajir II/359 cetakan Daarul Hadiits: [Dosa Besar yang ke 90-91-92] : “Ke-90; Meninggalkan jihad ketika fardlu ‘ain, yaitu dengan masuknya al-harbiyyuun(musuh) ke Daarul Islaam atau mereka menawan seorang muslim dan memungkinkan untuk membebaskannya dari mereka. Ke-91; Meninggalkan jihad dari pokoknya (meninggalkan jihad secara total-pent.). Ke- 92; Penduduk sebuah daerah yang meninggalkan benteng di tsughur (perbatasan) mereka sehingga dikhawatirkan  orang-orang kafir akan menguasainya karena benteng tersebut ditinggalkan.” Kemudian beliau mengatakan: “Perhatian; tiga masalah ini dzohir (jelas) – termasuk dosa besar – karena semuanya akan menyebabkan kerusakan pada Islam dan pemeluknya, selama tidak tertutupi celahnya, dan masalah inilah yang dimaksud dalam hadits-hadits yang bermuatan ancaman yang keras, maka perhatikanlah ini, karena sesungguhnya saya belum melihat seorangpun memperhatikan ini padahal ini sudah jelas.”
  2. Dalam Ahkaamul Qur’aan karangan At-Tahaanuwiy II/331 terbitan Karachi: “Apa orang-orang menyerang sebuah negeri dari negeri-negeri kaum muslimin maka jihad menjadi fardlu ‘ain atas semua mukallaf yang tidak mempunyai udzur. Dan mereka ber ijma’ bahwasanya jika musuh menyerang wilayah orang-orang beriman, wajib kepada setiap mukallaf dari kalangan laki-laki, yang merdeka atau budak, kaya atau miskinyang tidak mempunyai ‘udzur yang tinggal di wilayah itu, untuk keluar berjihad, dan ketika itu jihad menjadi bagian dari amalan-amalan yang fardlu ‘ain, maka tidak bisa dikalahkan oleh hak manusia, seperti tuan, orang yang menghutangi dan kedua orang tua sebagaimana sholat dan shoum, dan Abu Hanifah rohimahullohberkata: Seorang perempuan keluar tanpa izin suaminya [karena tidak ada hak untuk suami dalam amalan-amalan yang fardlu ‘ain]; jika jumlah penduduk daerah tersebut mencukupi (untuk melawan musuh) maka kewajiban jihad gugur dari orang-orang yang di sekitarnya; namun jika jumlah mereka tidak mencukupi, maka orang yang berada disekitarnya harus membantu mereka, jika orang yang berada disekitarnya qu’uud(tidak mau berjihad) maka orang yang berada agak jauh setelah irang yang disekitarnya itu dan begitu seterusnya Wallohu a’lam. Dinukil dari Al-Madzhariy.”
  3. Dan dalam kitab Badaa’i’u Ash-Shona’i’ karangan Al-Kasaniy [madzhab hanafiy] VII/98: “Jika penduduk perbatasan itu merasa lemah untuk melawan orang-orang kafir, dan dikhawatirkan mereka akan dikalahkan musuh maka orang-orang muslim yang berada di dekatnya, kemudian yang terdekat dan kemudian yang terdekat lagi, wajib untuk pergi ke tempat mereka dan memberi bantuan senjata … dan harta, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan bahwa jihad menjadi kewajiban seluruh orang ahlul jihad (layak jihad), akan tetapi kewajiban jihad akan gugur ketika sebagian orang telah mencukupi …. Namun jika nafiir (seruan keluar untuk berjihad) itu berlaku umum, yaitu ketika musuh menyerang sebuah wilayah maka jihad fardlu ‘ain yang diwajibkan kepada semua orang dari kaum muslimin yang mampu melaksanakannya berdasarkan firman Alloh Ta’ala :
انفروا خفافاً وثقالاً
“Berangkatlah kalian (untuk berperang) baik dalam keadaan berat maupun dalam keadaan ringan.”
……… keluar ….. tanpa seizin …… karena hak kedua orang tua itu tidak bisa mengalahkan amalan-amalan yang fardlu ‘ain seperti shoum dan sholat ….”
  1. Dikatakan dalam kitab Ad-durru Al-Mukhtaar: “Janganlah kamu diragukan bahwa kewajiban jihad itu [jihaadu ath-tholabi] gugur dari penduduk “India” karena penduduk “Romawi” misalkan telah melasanakan, akan tetapi kewajiban itu berlaku kepada orang yang paling dekat dari musuh kemudia yang terdekat setelahnya sampai orangnya mencukupi, maka jihad itu tidak dapat dicukupi kecuali oleh semua orang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain seperti sholat dan shoum …”
Dan pensyarahnya Ibnu ‘Aabidiin III/219 menukil dari ulama’ madzhab hanafiy: “Jika penduduk perbatasan itu merasa lemah untuk melawan orang-orang kafir, dan mereka dikhawatirkan akan dikalahkan oleh musuh, maka kaum muslimin yang terdekat kemudian yang terdekat setelahnya untuk pergi ke tempat mereka dan memberikan bantuan senjata dan …dan harta …” Kemudian dia berkata: “Dan hasilnya; bahwasanya setiap tempat yang dikhawaatirkan akan diserang musuh maka wajib atas imam atau penduduk wilayah tersebut untuk menjaganya,dan jika mereka tidak mampu maka wajib bagi orang yang terdekat kepada mereka untuk membantu mereka sampau jumlah itu mencukupi untuk melawan musuh.”
Dan dalam halaman III/221: “Dan fardlu ‘ain jika musuh menyerang, maka semuanya harus keluar meskipun tanpa izin.” Dan Ibnu ‘Aabidiin menjelaskan: “Maksudnya adalah atas yang dekat dengan musuh, maka jika mereka merasa lemah atau bermalas-malasan maka atas orang yang terdekat setelahnya, dan diwajibkan secara berurutan seperti ini sampai kewajiban itu mencakup seluruh kaum muslimin yang di timur dan di barat… dan dalam Al-Bazaaziyyah: Jika ada muslimah di buni bagian timur ditawan oleh musuh maka wajib kepada penduduk bumi bagian barat untuk membebaskannya dari tawanan.”
  1. Syaikh Wahbiy Sulaiman Ghoowijiy berkata dalam ta’liqnya terhadap kitab Muntaqol Abhar [madzhab hanafiy] I/355: “Tidak diragukan lagi bahwa kewajiban jihad itu adalah fardlu ‘ain terhadap semua mukallaf dari kaum muslimin pada hari ini, dan tidak tersisa lagi bagi mereka kecuali an-nafiir al-‘aam (pergi seluruhnya) untuk berjihad:
وإذا استُنْفِرْتُم فانفروا
“Dan apabila kalian disuruh keluar (untuk berjihad) maka keluarlah.”
Dan mudah-mudahan hal itu sebentar lagi.”
  1. Dan dalam Ar-Roudloh karangan An-Nawawiy [madzhab Syafi’iy] X/214 sampai 216: “Keadaan yang kedua: jihad fardlu ‘ain, maka apabila orang-orang kafir menginjakkan kakinya di wilayah kaum muslimin atau mereka atau mendekatinya dan tinggal di depan pintu masuknya, mereka sedang menuju akan tetapi belum memasukinya, maka jihad fardlu ‘ain yang secara terperinci akan kami jelaskan insya Alloh ta’aalaa … dan tidak wajib dalam keadaan seperti ini untuk izin kepada kedua orang tua dan orang yang menghutangi …. Sampai apabila penduduk daerah tersebut tidak mencukupi, maka wajib kepada mereka (kaum muslimin-pent.) semuanya untuk terbang ke sana …. Dan inilah maksud dari perkataan Al-Baghowiy: Apabila orang-orang kafir masuk ke negara Islam maka jihad fardlu ‘ain atas orang yang dekat dengannya dan fardlu kifayah atas orang yang jauh …. Dan bagaimana diperbolehkan menjadikan orang-orang kafir menguasai negara Islam padahal mampu untuk dilawan?! Wallohu a’lam.”
  2. Ibnu An-Nuhaas dalam Tahdzib Masyaari’ul Asywaaq ketika berbicara tentang keutamaan Jihad halaman 369, beliau berkata: “Dan apabila musuh-musuh menyerang bilaadul muslimin, dan kaum muslimin (maksudnya penduduk negeri tersebut) tidak keluar untuk memerangi mereka, qu’uud mereka itu sama seperti firoor (lari) dari medan perang ; hal ini jika jumlah mereka lebih banyak dari pada musuh, adapun jika jumlah mereka lebih sedikit hal itu – tidak mau keluar untuk menghadapi musuh — bukanlah maksiyat dan mereka boleh membuat pertahanan dengan menunggu bantuan dari ikhwan-ikhwan mereka kaum muslimin.” Selesai. Maka berdosalah orang yang mampu menolong mereka namun tidak melakukannya; dan barang siap yang tidak mampu berperang maka wajib untuk melakukan I’daad haqiiqiy untuk berperang, dan bukan I’dad untuk menikah atau untuk ujian !!! dan ini jelas.
Dan dalah halaman 35: “Dan orang yang buta sebelah wajib untuk berjihad, orang yang pusing-pusing, sakit gigi, panas ringan dan orang yang sedikit pincang …. Dan apabila musuh menduduki sebuah daerah dari wilayah kaum muslimin, maka kaum muslimin yang tinggal di daerah-daerah lain wajib untuk membantu kaum muslimin  yang tinggal di daerah tersebut … dan ketika orang-orang kafir menduduki sebuah negeri kaum muslimin, maka orang yang tinggal dalam jarak boleh meng-qoshor sholat wajib untuk membantu penduduk negeri tersebut jika jumlah mereka mencukupi, dan jika jumlah mereka tidak mencukupi maka kaum muslimin yang lebih jauh dari jarak itu wajib untuk nafiir (keluar), dan jika telah keluar jumlah yang mencukupi maka kewajiban itu gugur dari yang lain, akan tetapi mereka kehilangan pahala yang besar dan balasan yang banyak …dan apabila orang-orang kafir menguasai sebuah gunung atau lembah atau sebuah tempat di Daarul Islam yang jauh dari negara dan perkotaan, dan tempat yang mereka kuasai itu tidak ada penduduknya, maka sesungguhnya hukumnya sama dengan negara-negara yang dikuasai oleh orang-orang kafir,  dan kaum muslimin wajib nafiir untuk membebaskan tempat tersebut! ….dan Al-Qurthubiy berkata: Seandainya orang-orang kafir mendekati Daarul Islaam dan mereka belum memasukinya, maka wajib bagi kaum muslimin untuk keluar menghadapi orang-orang kafir, sampai dien Alloh menjadi dzohir, dan terlindungi wilayah kaum muslimin dan terjaga wilayah-wilayah perbatasan.”
  1. Mughniy Al-Muhtaaj [madzhab Syafi’iy IV/209 sampai 220: “ … kemudian mushonnif (penulis kitab) memasuki pembahasan keadaan orang kafir yang kedua, yang terkandung dalam perkataannya yang (berbunyi); Mereka memasuki negeri kita atau menduduki kepulauan atau pegunungan di Daarul Islaam meskipun letaknya jauh negeri, maka penduduk negeri itu wajib untuk mempertahankannya dari orang-orang kafir itu semampuna, dan jihad ketika itu fardlu ‘ain .. dan jika penduduk negeri itu mengadakan persiapan untuk berperang maka mereka semua wajib melakukannya .. sesuai dengan kemampuan, sampai meskipun orang yang faqir sesuai dengan kemampuannya, seorang anak dan orang yang mempunyai tanggungan hutang, dan budak tanpa seizin kedua orang tuanya atau orang yang menghutangi atau tuan, dan ketidak mampuan tidak lagi dapat dijadikan alasan dalam keadaan seperti ini, karema masuknya orang-orang kafir ke Daarul Islam merupakan bencana yang sangat besar yang tidak boleh diremahkan, maka harus bersungguh-sungguh dalam melawannya dengan segala kemampuan, dan masuk kedalam pengertian masuknya-orang kafir kedalam negeri juga jika mereka melongok kepadanya …
Kemudian pembahasan di atas: adalah hukum (jihad) bagi penduduk sebuah negeri yang dimasuki oleh orang-orang kafir …, dan orang yang berada dalam jarak sholat boleh diqoshor dari daerah yang dimasuki oleh orang-orang kafir hukum (jihad) bagi mereka sam dengan hukum (jihad) bagi orang yang tinggal di daerah yang dimasuki orang-orang kafir, maka wajib atas mereka untuk berjalan ke sana jika mereka mempunyai bekal --- dan tidak adanya bekal tidak dianggap sebagai udzur --- dan kendaraan bagi orang yang mampu jalan kaki menurut pendapat yang paling shohih, hal ini jika jumlah penduduk negeri yang diserang itu tidak mencukupi (untuk melawan orang-orang kafir); Dan orang-orang yang tinggal dalan jarak qoshor dan yang lebih jauh lagi, mereka harus punya bekal dan kendaraan menurut pendapay yang paling shohih sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk mencukupi kekurangan jumlah untuk melawan orang-orang kafir jika penduduk negeri yang diserang dan penduduk yang berada di dekatnya belum mencukupi untuk melawan orang-orang kafir dan untuk menyelamatkan orang-orang Islam.
Peringatan: perkataannya yang berbunyi “sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk mencukupi (kekurangan jumlah untuk melawan orang-orang kafir)” mengisyaratkan kalau semua orang tidak wajib untuk keluar, … dan pendapat yang paling shohih adalah jika jumlah penduduknya mencukupi mereka tidak harus keluar semua; dan jika mereka --- orang-orang kafir --- menawan seorang muslim maka yang paling shohih adalah wajib untuk bangkit (memerangi) mereka, meskipun mereka belum masuk ke wilayah kita untuk membebaskannya (tawanan tersebut-pent.) jika kita perkirakan (bisa membebaskannya-pent.) lantaran mereka berada dekat (dengan wilayah kita-pent.), sebagaimana kita bangkit (memerangi mereka-pent.) jika mereka memasuki wilayah kita, bahkan (jihad ketika itu) lebih utama karena harga diri seorang muslim itu lebih besar dari pada nilah sebuah negara.”
  1. Ibnu Taimiyah (berkata): “Apabila musuh memasuki negeri Islam maka tidak diragukan lagi atas wajibnya melawan mereka atas orang yang berada paling dekat dengan mereka kemudia orang yang paling dekat setelah mereka, karena negeri-negeri kaum muslimin itu bagaikan satu negeri, dan sesungguhnya juga wajib untuk an-nafiir ke daerah tersebut tanpa seizin orang tua atau ghoriim (orang yang menghutangi).”
  2. Dan dalam kitab Kasy-syaafu Al-Qinaa’ karangan Al-Bahutiy [madzhab hambaliy] III/37 terbitan Daarul Fikriy: “Dan barang siapa yang hadir dalam barisan orang yang mempunyai kewajiban jihad — yaitu laki-laki, merdeka, mukallaf yang mampu dan muslim … — seperti jika musuh telah mendatanginya atau mendatangi sebuah negeri atau sebuah negeri yang jauh membutuhkannya untuk berjihad atau dua pasukan, pasukan kaum muslimin dan pasukan orang-orang kafir telah berhadap-hadapan atau telah diadakan istinfaar oleh orang yang berhak melakukan istinfaar — dan tidak ada udzur — maka jiha wajib waginya, artinya jihad menjadi fardlu ‘ain bagi dirinya.”
  • Pembahasan di atas sudah cukup, dan kamu hendaknya merealisasikannya pada dirimu agar kamu mengusir keragu-raguan dengan keyakinan, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang mukhodzdzil(melemahkan semangat untuk berjihad)
  1. Supaya kita tidak terkena sifat orang-orang munafiq, maka
من مات ولم يَغْزُ ولم ُيحَدِّث نفسه بالغزو مات على شُعبة من النفاق
“Barang siapa yang mati dan belum berperang dan belum membisikkan hatinya untuk berperang, ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.” Muslim.
Ini dalam ketika (jihad) fardlu kifayah maka bagai mana jika ketika fardlu ‘ain?
إن المنافقين في الدَّرْك الأسفل من النار ولن تجد لهم نصيراً
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu berada di kerak yang paling bawah dari neraka dan kamu tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka.” Surat An-Nisaa’
  1. Supaya Alloh tidak meng adzab kita dengan adzab yang pedih:
إلاّ تنفروا يُعَذِّبْكم عذاباً أليماً ويَستبدلْ قوماً غيركم ولا تَضُرُّوه شيئاً والله على كل شيء قدير
“Jika kalian tidak melakukan nafiir, niscaya Alloh mengadzab kalian dengan adzab yang pedih dan mengganti kalian dengan kaum selain kalian dan kalian tidak akan membahayakan kaum tersebut sedikitpun. Dan Alloh mampu atas segala sesuatu.”
Dan nafiir itu sudah ma’ruuf dan di balik itu ada peperangan, dan Alloh tidak mengatakan “jika kalian tidak sekolah Alloh akan mengadzab kalian … maka kenapa kita balikkan timbangan ?
ـ ما ترك قوم الجهاد إلا عَمَّهم الله بالعذاب
“Dan tidaklah sebuah kaum itu meninggalkan jihad kecuali Alloh akan meratakan adzab kepada mereka.”
Al-Mundziriy mengatakan: (Hadits ini diriwayatkan oleh) Ath-Thobrooniy dengan sanad hasan; Maka apakah kamu berani mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sekolah itu atau tidak belajar tajwid akan diratakan kepada mereka adzab?!
ـ من لم يَغْزُ أو يُجَهّز غازياً أو يَخلُف غازياً في أهله بخير أصابه الله بقارعة قبل يوم القيامة
“Barang siapa yang belum berperang atau menyiapkan orang yang berperang atau merawat dengan baik keluarga yang ditinggalkan orang yang berperang, Alloh pasti menimpakan kepadanya qoori’ah (bencana) sebelum hari qiyamat.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh) Abu Dawuud dengan sanad yang kuat, maka apakah kamu meyakini bahwasanya jika kamu meninggalkan belajar ekonomi atau arsitektur atau jika kamu meninggalkan pekerjaanmu sebagai seorang pedagang atau buruh di pabrik, Alloh akan menimpakan kepadamu qoori’ah sebagaimana Alloh akan menimpakannya kepadamu jika kamu meninggalkan perang fii sabiilillaah ?
ـ من تعلّم الرمي ثم تركه فليس منا أو فقد عصى
“Barang siapa telah belajar ar-romyu (memanah, menembak) kemudian dia meninggalkannya maka dia bukan dari golongan kami atau dia telah bermaksiyat.” Muslim.
Lalu bagaimana dengan orang yang belum pernah memanah / menembak selama hidupnya !,
Dan dalam riwayat Abu Dawud dan At-Tirmiidziy:
…ومن ترك الرمي بعدما عَلِمَه رغبةً عنه فإنها نعمة تركها، أو قال: كفرَها
“…dan barang siapa yang meninggalkan ar-romyu setelah dia bisa karena tidak menyukainya maka hal itu merupakan anugrah (yang Alloh berikan kepadanya-pent.), atau nikmat yang ia kufuri.” Hadits hasan.
Lalu bagaimana kamu lebih menyukai dan lebih mengutamakan sesuatu dari pada perang, kemudia kamu lebih menekankan hal itu?!

[1]- HR.Ahmad 4/114 dengan sanad shohih no:17152 hal:1225, mempunyai syawahid dan dishahihkan syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits al Shahihah no. 551 jilid 2/92.
[2] – Shoum secara bahasa artinya menahan diri. Pent

0 komentar:

Posting Komentar