Afwan

Blog Sedang Dalam Renovasi Karena Pernah Terjadi Kesalahan,, Sekarang Sedang Di Perbaiki,, Maaf Jika Sedikit Berantakan ^^

Makasih,,,

Nb : sulaiman

Assalamu'alaikum Wa'rohmatillohi Wa'barokatuh

kami tidak memakasa orang kafir untuk masuk islam

(Qs. [2] Al-baqarah : 256)

1
لاَإِكْرَاهَفِيالدِّينِقَدتَّبَيَّنَالرُّشْدُمِنَالْغَيِّفَمَنْيَكْفُرْبِالطَّاغُوتِوَيُؤْمِنبِاللّهِفَقَدِاسْتَمْسَكَبِالْعُرْوَةِالْوُثْقَىَلاَانفِصَامَلَهَاوَاللّهُسَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. 2:256)


~ Perkumpulan Mujahid Muda Islam ~

Rabu, 15 Juni 2011

Apakah ayat ini (al-maidah 44) bersifat khusus untuk ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) atau bersifat umum yang juga mencakup kaum muslimin?

Abdul qadir bin abdul aziz

Perkataan para sahabat dan tabi’in berbeda-beda dalam masalah ini dan terbagi menjadi dua pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ahlul kitab dan orang-orang kafir, (seperti perkataan Al Barroo’ bin ‘Aazib, Hudzaifah ibnul Yaman, Ibnu ‘Abbaas, Abu Mijlaz, Abu Rojaa’ Al ‘Athooridiy, ‘Ikrimah, Qotaadah, Adl Dlohaak, ‘Ubaidulloh bin ‘Abdulloh, Al Hasan Al Bashriy dan yang lainnya). Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut wajib bagi kaum muslimin (seperti yang dikatakan oleh Hudzaifah ibnul Yaman, Al Hasan Al Bashriy, Ibrohim An Nakh’iy, dan ‘Aamir Asy Sya’biy). Dan tidak ada yang mengatakan bahwa ayat ini bukan untuk kaum muslimin kecuali Abu Shoolih. Lihatlah perkataan Ibnu Katsiir yang telah kami sampaikan di depan dan perkataan Ath Thobariy dalam tafsirnya VI/252-255.


Dan telah saya jelaskan dalam kata pengantar ketiga bahwa perkataan para sahabat itu jika berbeda-beda tidak dapat dijadikan hujjah. Namun demikian kebenaran pasti berada pada salah satu perkataan mereka yang berbeda-beda tersebut dan kebenaran itu tidak akan keluar dari seluruh perkataan mereka sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar keempat. Dan untuk mengetahui mana yang benar di antara perkataan mereka maka harus dilakukan tarjiih (memilih mana yang lebih kuat) di antara perkataan yang bermacam-macam tersebut dengan berbagai faktor penguat yang bermacam-macam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar kelima. Dan pada kata pengantar ketiga dan kelima telah saya nukil perkataan Imam Maalik rh — tentang perselisihan sahabat — yang berbunyi: “… ada yang salah dan ada yang benar maka hendaknya kamu berijtihad.”

Dan setelah melakukan tarjiih maka kami dapatkan bahwa yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum yang masuk ke dalamnya kaum muslimin. Dan dalilnya adalah:

1. Sesungguhnya shiighoh (struktur kalimat) ayat ini berbentuk umum, karena menggunakan “man syarthiyah” (siapa yang berfungsi sebagai syarat).

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ

“Dan barangsiapa tidak memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Alloh…”

Dan telah saya jelaskan pada kata pengantar keenam bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

“Pelajaran (kesimpulan) itu diambil berdasarkan keumuman lafadh dan bukan berdasarkan sebab yang khusus”.

Berdasarkan ini maka sesungguhnya hukum yang terkandung dalam ayat ini:

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Maka mereka adalah orang-orang kafir”.

Mencakup dan berlaku kepada setiap:

مَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ

“Orang yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh.”

Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan lafadh “من ” (siapa) merupakan shiighoh (ungkapan) kalimat yang paling umum, terlebih lagi apabila berfungsi sebagai syarat atau kata tanya. Seperti firman Alloh:

فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره

“Barangsiapa beramal baik seberat biji sawi pun pasti dia melihatnya dan barangsiapa beramal buruk seberat biji sawi pun pasti dia melihatnya”.

Dan seperti firmanNya:

أفمن زين له سوء عمله فرآه حسنا

“Apakah orang yang amalan buruknya dijadikan indah lalu dia memandangnya baik?”

(Majmuu’ Fataawaa XV/82 dan ini serupa dengan yang dalam XXIV/346). Dan oleh karena shiighoh (struktur kalimat) nya bersifat umum, maka Ibnul Qoyyim mengatakan tentang ayat ini: “Dan di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut untuk ahlul kitab yaitu pendapat Qotaadah, Adl Dlohaak dan yang lainnya. Dan pendapat ini jauh (kemungkinannya) dan tidak sesuai dengan dhohir lafadhnya oleh karena pendapat ini tidak benar.” (Madaarijul Saalikiin I/365 cet. I Daarul Kutub Al ‘Ilmiyah). Begitu pula Al Qoosimiy mengatakan dalam tafsirnya: “Dan demikian pula yang diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbaas bahwasanya ayat tersebut mengenai orang-orang Yahudi — khususnya Bani Quroidloh dan Bani Nadliir — namun tidak berarti ayat ini tidak mencakup selain mereka, karena pelajaran (kesimpulan) itu diambil berdasarkan keumuman lafadh, bukan berdasarkan sebab yang khusus. Dan kata “من” (siapa) yang digunakan sebagai “syarath” maka bersifat umum.” (Mahaasinut Ta’wiil, karangan Al Qoosimiy VI/215, cet Daarul Fikri 1398 H). Dan ahli tafsir lainnya juga mengatakan hal yang serupa, seperti Abu Hayyaan Al Andalusiy di dalam Al Bahrul Muhiith III/492).

2. Dan di antara yang memperkuat bahwa ayat tersebut bersifat umum yang mencakup kaum muslimin, adalah: bahwasanya Rosululloh SAW lah yang menjadi mukhoothob (lawan bicara/orang kedua) dalam ayat tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر

“Wahai Rosul, janganlah orang-orang yang bergegas dalam kekafiran itu membikin kamu sedih”. (ayat 41).

Dan firman Alloh Ta’aalaa:

فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ

“Jika mereka datang kepadamu maka putuskanlah perkara mereka atau berpalinglah dari mereka.” (ayat 42).

Dan firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:

فَاحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ

“Maka putuskanlah perkara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Alloh dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka.” (ayat 48).

Ini semuanya khithoobnya ditujukan kepada Rosul kita SAW. Dan pada kenyataannya memang beliaulah yang memutuskan hukum terhadap peristiwa yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut, yaitu beliau menjatuhkan hukuman rajam kepada 2 orang yang berzina. Dan pada kata pengantar kesepuluh anda telah memahami bahwa khithoob Alloh yang ditujukan kepada Rosul SAW adalah khithoob untuk umatnya kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa ayat tersebut khusus untuk beliau. Padahal di sini tidak ada dalil yang menunjukkan khusus untuk beliau. Bahkan sesungguhnya perubahan dari shiighoh (struktur kalimat) dari bentuk tunggal (mufrod):

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ

“Wahai Rosul…”

Menjadi shiighoh (struktur kalimat) yang berbentuk jamak:

فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ … وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا

“Maka janganlah kalian takut kepada manusia…….dan janganlah kalian menukar ayat-ayat Ku dengan harga yang murah.

Hal ini memperkuat bahwa khithoob ini bersifat umum bagi umatnya. Dan pada kata pengantar tersebut saya nukil perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi: “Pada asalnya khithoob untuk Nabi yang berupa perintah, larangan dan pembolehan itu berlaku untuk seluruh umatnya, seperti kesamaan umat beliau dengan beliau dalam hukum dan yang lainnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa khithoob tersebut khusus untuk beliau. Maka hukum yang berlaku untuk beliau berlaku pula untuk umat Islam apabila hukum tersebut tidak dikhususkan untuk beliau. Inilah madzhab (pendapat) salaf dan para fuqohaa’.” (Majmuu’ Fataawaa XV/82).

3. Dan di antara yang memperkuat bahwa para penguasa hari ini yang mengaku Islam dan menjalankan hukum dengan selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka masuk ke dalam keumuman hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut, karena kondisi mereka persis dengan kondisi orang-orang yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir: “Ayat-ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan orang-orang yang bergegas-gegas menuju kekafiran, yang keluar dari ketaatan kepada Alloh dan RosulNya, yang lebih mengedepankan pikiran dan hawa nafsu mereka dari pada syariat-syariat Alloh ‘Azza wa Jalla — sampai perkataannya — Dan yang benar bahwa ayat-ayat tersebut turun berkenaan dengan 2 orang Yahudi yang berzina, sedangkan mereka telah merubah kitab Alloh yang berada pada mereka yang berupa perintah merajam orang muhshon (yang pernah menikah) yang berzina di antara mereka, lalu mereka rubahnya.” (Tafsiir Ibnu Katsiir II/58). Maka kondisi yang terjadi pada hari ini sama persis dengan kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Dan telah saya terangkan dalam kata pengantar ketujuh bahwa kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat itu masuk dalam konteks ayat secara qoth’iy (pasti). Dan As Suyuuthiy menyatakan ijma’ tentang ini dalam Al Itqoon I/28. Oleh karena itu dalam Ahkaamul Qur-aan, Ismail Al Qoodliy setelah menceritakan perselisihan masalah ini mengatakan: “Secara dhohir ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan, dia membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Alloh, dan dia menjadikannya sebagai diin (ajaran) yang dijalankan, maka dia mendapatkan apa yang mereka dapatkan yang berupa ancaman yang terdapat dalam ayat tersebut baik dia sebagai seorang hakim (penguasa) atau yang lainnya.” (Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baariy XIII/120 dan dinukil oleh Al Qoosimiy dalam Mahaasinut Ta’wiil VI/216). Dan apa yang dikatakan oleh Isma’il Al Qoodliy sama persis dengan apa yang dilakukan oleh para penguasa hari ini. Mereka menjalankan hukum buatan yang mereka jadikan sebagai diin (ajaran) yang diberlakukan artinya adalah dijadikan peraturan yang harus dipatuhi sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar pertama tentang pengertian diin. Dan tidak ada pengaruhnya dalam hal ini apakah para penguasa tersebut yang membuat hukum buatan tersebut atau mereka mewarisinya dari pendahulu mereka. Karena orang-orang Yahudi yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut bukanlah yang membuat ketentuan hukum yang menyelisihi hukum Alloh tersebut, akan tetapi mereka mewarisinya dari para pendahulu mereka. Maka kondisinya juga sama dengan kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat, sebagaimana yang ditunjukkan hadits-hadits yang menerangkan tentang sebab turunnya ayat tersebut khususnya hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thobariy dari Abu Huroiroh tentang sebab turunnya ayat ini. Selain itu sesungguhnya komitmen para penguasa tersebut dengan undang-undang tersebut dalam menentukan hukum dan mereka mewajibkan orang lain untuk mematuhi berlakunya undang-undang tersebut di negara mereka menunjukkan kerelaan mereka terhadap undang-undang tersebut. Sehingga status mereka sama dengan orang yang membuatnya dalam hukum Islam. Karena komitmen dengan kekafiran adalah kekafiran, memerintahkan orang lain untuk melakukan kekafiran adalah kekafiran dan rela dengan kekafiran adalah kekafiran.

ظلمات بعضها فوق بعض

“Berbagai kegelapan yang sebagian di atas sebagian yang lain”.

4. Sesungguhnya tidak seorang sahabatpun yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk kaum muslimin, akan tetapi maksimal sebagian mereka hanya mengatakan mengatakan: Sesungguhnya ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Dan perkataan seperti ini bukanlah merupakan takhshiish (pengkhususan) atau pembatasan nash yang umum hanya untuk suatu sebab ayat yang khusus tersebut. Dan perkataan sahabat ini hanyalah menjelaskan tentang sebab turunnya ayat sebagaimana yang saya terangkan dalam kata pengantar kedelapan. Dan Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Sesungguhnya (meskipun) para sahabat mengatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan sesuatu, namun mereka tidak berselisih pendapat bahwa nash dari ayat tersebut mencakup juga hal-hal yang tidak menjadi sebab turunnya ayat selama hal tersebut masih dalam cakupan lafadhnya.” (Majmuu’ Fataawaa XXXV/28-29). Dan tidak sama antara orang yang mengatakan: Ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab, dan antara orang yang mengatakan: Bahwa ayat tersebut tidak berkenaan dengan kaum muslimin. Kata-kata yang terakhir ini tidak ada riwayat dari sahabat, akan tetapi diriwayatkan dari beberapa tabi’in. Dan perkataan ini salah berdasarkan dalil-dalil yang telah saya sampaikan. Dan juga karena perkataan sahabat itu tidak dapat mengkhususkan keumuman lafadh Al Qur’an terlebih lagi jika bertentangan, sebagaimana yang saya terangkan dalam kata pengantar kesebelas. Apalagi perkataan tabi’in, lebih tidak dapat mengkhususkan.

5. Dan kalaupun ayat ini dikatakan turun berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab, namun sesungguhnya ancaman yang terdapat dalam ayat tersebut berlaku untuk kaum muslimin. Hal itu berdasarkan sabda Rosululloh SAW:

لتتبعن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموهم. قالوا: يا رسول الله اليهود والنصارى؟ قال صلى الله عليه وسلم: فمن؟

“Kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, sampai hingga mereka masuk ke lobang biawakpun kalian mengikuti mereka. Para sahabat bertanya:”Wahai Rosululloh, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab:”Siapa lagi?” (Hadits ini Muttafaqun ‘Alaih).

Dan inilah yang dimaksud dalam atsar dari Hudzaifah ibnul Yamaan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath Thobariy dengan sanadnya dari Abul Bukhtariy, ia mengatakan: “Ada seseorang yang bertanya kepada Hudzaifah tentang orang-orang yang dimaksud dalam ayat-ayat:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظالمون

“Maka mereka adalah orang-orang dholim”.

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الفاسقون

“Maka mereka adalah orang-orang fasiq”.

Orang tersebut bertanya: “Ada yang mengatakan bahwa hal itu mengenai Bani Isroil?” Hudzaifah menjawab: “Saudara kalian yang paling baik adalah Bani Isroil, karena semua yang pahit untuk mereka sedangkan semua yang manis untuk kalian. Sekali-kali tidak, demi Alloh, kalian benar-benar akan menempuh jalan mereka sebagaimana sandal.” (Tafsiir Ath Thobariy VI/253). Demikianlah, selain itu saya telah sebutkan pada kata pengantar kesembilan dalil-dalil atas bolehnya berdalil dengan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan orang-orang kafir untuk kaum muslimin selama masih dalam cakupan keumuman lafadh. Di sana saya sebutkan tujuh dalil kemudian saya sebutkan perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi: “Sesungguhnya Alloh menceritakan kepada kita cerita-cerita umat-umat yang sebelum kita supaya menjadi pelajaran untuk kita. Lalu kita mengukur kondisi kita dengan kondisi mereka dan kita qiyaskan umat yang belakangan dengan umat yang terdahulu. Sehingga orang-orang mukmin yang belakangan mirip dengan orang mukmin yang terdahulu dan orang kafir dan munafiq yang belakangan mirip dengan orang kafir dan munafiq yang terdahulu.” (Majmuu’ Fataawaa XXVIII/425).

6. Dan kalau pun juga dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi, Alloh berfirman:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر — الى — وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا

“Wahai Rosul, janganlah membikin kamu sedih orang-orang yang bergegas-gegas menuju kekafiran — sampai — dari kalangan orang-orang Yahudi”.

Sesungguhnya الَّذِينَ هَادُوا (orang-orang Yahudi) adalah laqob (julukan) sedangkan mafhuum mukhoolafah pada laqob tidak dapat dijadikan hujjah. Artinya apabila ayat-ayat tersebut menetapkan suatu hukum terhadap laqob ini الَّذِينَ هَادُوا (orang-orang Yahudi) maka mafhuum mukhoolafah laqob tidak bisa dijadikan hujjah. Dengan demikian berarti hukum yang khusus untuk orang-orang Yahudi itu tidak mesti tidak berlaku untuk orang selain mereka. Dan hukum tersebut adalah hukum yang disebutkan dalam firmanNya:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

Dan tidak bisanya mafhuum mukhoolafah untuk dijadikan hujjah ini merupakan bantahan terhadap orang yang menganggap hukum ini khusus untuk ahlul kitab. Lihat pembahasan mafhuum mukhoolafah laqob dalam buku Al Ihkaam Fii Ushuulil Ahkaam, karangan Al Aamidiy III/104 dan Irsyaadul Fuhuul karangan Asy Syaukaaniy hal. 166-169.

7. Dan kalaupun juga dikatakan bahwa ayat ini mengenai ahlul kitab, maka sesungguhnya seluruh salaf dan jumhuur (mayoritas) fuqohaa’ berpendapat bahwa syariat umat-umat sebelum kita berlaku untuk kita jika diriwayatkan dengan riwayat yang bisa dipercaya dan dalam syariat kita tidak ada yang menyelisihinya. Dan unsur-unsur ini terpenuhi dalam hukum yang terdapat dalam ayat tersebut. Dan masalah ini telah saya bahas pada akhir Pembahasan I’tiqood ketika mengkritik buku Ar Risaalah Al Liimaaniyah yang saya nukil dari Majmuu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah I/258, XIX/7 dan Iqtidloo-u Shiroothil Mustaqiim, karangan Ibnu Taimiyyah hal. 167-169 cet. Al Madaniy.

Maka apabila yang menjadi kewajiban ahlul kitab itu merupakan syariat bagi kita, maka ini termasuk juga yang menunjukkan atas keumuman nash ini.

Wa ba’du, inilah tujuh hal yang semuanya menunjukkan bahwa firman Alloh Ta’aalaa:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

… merupakan nash yang umum yang mencakup juga kaum muslimin. Dan setiap orang yang melakukan hal yang menjadi sebab hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut:

لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ

“tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh.”

… maka dia pasti mendapatkan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut.

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka adalah orang-orang kafir”.

Dari situ kita pahami bahwa pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab itu adalah berfungsi sebagai penjelasan tentang sebab turunnya ayat dan bukan yang lainnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk kaum muslimin maka ini secara qoth’iy salah sebagaimana yang telah saya jelaskan.

Sesungguhnya cara terbaik untuk menanamkan keimanan dan akhlak yang terpuji dalam diri anak kecil adalah dengan memberikan contoh nyata dan perilaku yang baik. Sesering apapun kita berbicara kepadanya tentang shalat –misalnya- maka tidak akan banyak berpengaruh, kecuali jika ia melihat kita (sebagai orang tua dan pendidik) senantiasa menjaga shalat lima waktu tepat pada waktunya.

baca juga :
http://muwahid1n.blogspot.com/2011/06/insha-allah-kata-kafir-dalam-surat-al.html

0 komentar:

Posting Komentar