Rabu, 15 Juni 2011
Dampak Memberlakukan Hukum Ciptaan ManusiaTerhadap Penguasa.
Abdul qadir bin abdul aziz
Yang dimaksud dengan penguasa disini adalah pemimpin negara, sama saja pemimpin tersebit presiden atau raja, yang memerintah berdasarkan hukum tersebut dan memerintahkan untuk menjalankan hukum tersebut. Pemimpin ini hukumnya kafir kufur akbar, berdasarkan dalil-dalil yang kami sebutkan dalam masalah keenam dan berdasarkan ijma’ yang kami sebutkan dalam masalah ketujuh. Dan kekafiriannya ini menimbulkan dampak sebagai berikut:
A. Kekuasaannya batal (tidak syah) dan haram mentaatinya.
Hal ini berdasarkan firman Alloh ta’ala
ياأيـها الذيـن آمنـوا أطيعـوا الله وأطيعـوا الرسـول وأولـي الأمـر منكــم
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (An Nisaa’: 59)
Sedangkan orang kafir bukanlah dari golongan kita, maka ia tidak boleh menjadi pemimpin kita dan tidak ada kewajiban taat bagi kita. Dan juga berdasarkan firman Alloh ta’ala:
ولــن يجعـل اللــه للكـافرين على المؤمنين سبيلا
“Dan Alloh ta’ala sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir terhadap orang-irang beriman”. (An Nisaa’: 141)
Sedangkan kekuasaan dan ketaatan adalah jalan yang paling besar, oleh karena itu tidak ada kekuasaan dan ketaatan bagi orang kafir atas orang Islam.
Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah Bin Ash-Shomit ra., ia mengatakan:” Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, memanggil kami unuk berbai’at. Di antara isi bai’at itu adalah supaya kami mendengar dan taat dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam keadaan susah atau senang dan meskipun (pemimpin itu) lebih mementingkan dirinya daripada kami, dan supaya kami tidak menggulingkan penguasa.
Dan beliau bersabda:
إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان
“Kecuali kalian melihat kekafiran nyata yang kalian memiliki keterangan dari Alloh ta’ala.” Hadits ini muttafaq ‘alaihi.
Maka jika terjadi kekafiran yang nyata pada pemimpin, otomatis gugurlah ketaatan kepadanya dan wajib untuk menggulingkannya.
Maka sebenarnya para penguasa yang menjalankan hukum buatan manusia di negara-negara kaum muslimin, mereka itu tidak pernah sama sekali menjadi penguasa yang syah. Mereka menjadi penguasa berdasarkan undang-undang dan dan bukan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian maka kepemimpinan mereka tidak syah dari dasarnya. Dan karena kebanyakan penguasa itu mengaku Islam, maka perbuatan kafir mereka itu menjadikan mereka sebagai orang murtad.
B. Wajib menggulingkan penguasa kafir.
Hal ini berdasarkan hadits Ubadah di atas. Dalam menjelaskan hadits tersebut An-Nawawi mengatakan: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; [Para ulama' bersepakat bahwa kekuasaan itu tidak diberikan kepada orang kafir, dan apabila terjadi kekafiran padanya (yang sebelumnya ia seoarang muslim), ia harus dipecat -sampai beliau mengatakan- Jika terjadi kekafiran atau merubah syari'at atau bid'ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pulalah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. Jika tidak ada yang mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang, maka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi' (berbuat bid'ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka tidak wajib menggulingkannya. Dan hendaknya orang muslim hijroh dari daerah tersebut ke tempat lain untuk menyelamatkan agamanya. Syarhu Shohiih Muslim XII/229. Ibnu Hajar juga mengatakan --- tentang penguasa --- :" Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar ijma' kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. " Fat-hul Baariy XIII/132
Ibnu Hajar juga mengatakan: " Ibnu Tien berkata; Para ulama telah ijma' (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid'ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak?." Ibnu Hajar berkata," Pernyataan beliau tentang adanya ijma' ulama mengenai hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid'ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid'ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata." Fat-hul Baariy XIII/124
Semua ini tujuannya adalah memecat penguasa kafir dan mengangkat penguasa muslim. Jika penguasa kafir itu bisa dipecat dengan tanpa peperangan maka yang penting target telah tercapai, namun jika target itu tidak bisa tercapai kecuali dengan peperangan, maka perang hukumnya wajib, karena kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan menempuh sebuah sarana, maka melakukan sarananya juga wajib. Hadits Ubadah bin Ash-Shomit meskipun hanya menyebutkan keterangan bolehnya memecat (dan agar kami tidak menggulingkan penguasa), akan tetapi hadits-hadits yang lainnya menjelaskan bahwa pemecatan itu dengan peperangan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits marfuu' dari Ummu Salamah "Para sahabat mengatakan:'Apakah tidak kita perangi mereka? Beliau menjawab;'Jangan selama mereka masih sholat bersama kalian." Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam kitabul imaroh dalam kitab shohihnya. Dan saya telah sebutkan dalam kritikan saya terhadap buku Al Qoulul Qoothi' Fii Manimtana'a 'Anisy Syaroo-i'" dalam mabhats I'tiqood, dalam memadukan pemahaman hadits-hadits ini, yaitu jika seorang penguasa itu meninggalkan sholat, ia diberontak karena tidak sholatnya penguasa tersebut adalah salah satu dari bentuk kufur yang nyata yang disebutkan dalam hadits Ubadah. Dan jika ia kafir dari sisi lainnya selain meninggalkan sholat (seperti menjalankan undang-undang ciptaan manusia, berwala' terhadap orang-orang kafir, membenci hukum Islam, membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin atau perbuatan apa saja yang membuat pelakunya kafir, pentj), ia juga diberontak berdasarkan keumuman hadits Ubadah, meskipun ia masih sholat.
Memberontak pemerintah kafir ini lebih ditekankan dan didahulukan dari pada memerangi orang kafir lainnya karena ada tiga sebab:
Pertama: perang melawan mereka ini termasuk kategori jihadud daf' (jihad mempertahankan diri) yang hukumnya adalah fardlu 'ain dan lebih didahulukan dari pada jihadut tholab. Hal itu karena para penguasa itu adalah musuh yang kafir yang menguasai negara kaum muslimin. Alloh ta'ala berfirman :
إن الكافرين كانوا لكم عدوا مبينا
"Sesungguhnya orang-orang kafir itu bagi kalian adalah musuh yang nyata". (An Nisaa': 101)
Dan Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Adapun jihad mempertahankan diri, adalah merupakan jihad yang paling besar yang berupa mempertahankan diri dari musuh yang menyerang kehormatan dan agama, maka jihad semacam ini wajib berdasarkan ijma". Oleh karena itu musuh yang menyerang dan merusak agama dan dunia, tidak ada yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya. Tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan tetapi musuh dilawan dengan kemampuan yang dimiliki." Al Ikhtiyaaroot Al Fiqhiyyah hal. 309. Dan telah ditetapkan bahwasanya jihad itu hukumnya fardlu 'ain jika musuh memasuki negeri kaum muslimin. (Al Mughniy Ma'asy Syarhil Kabiir X/366) Dan tidak ada bedanya apakah orang kafir yang menguasai itu orang asing atau berasal dari penduduk negeri tersebut lalu dia kafir dan menguasai negeri. Karena yang menjadi 'illah (sebab) wajibnya jihad adalah kekafiran, dan kekafiran itu terdapat pada orang yang asing atau orang yang berasal dari dalam negeri. Alloh ta'ala berfirman:
إن الكافرين كانوا لكم عدوا مبينا
"Sesungguhnya orang-orang kafir itu bagi kalian adalah musuh yang nyata". (An Nisaa': 101)
Ayat ini tidak membedakan antara orang asing maupun penduduk negeri sendiri. Hal itu juga karena orang murtad itu menjadi orang asing bagi kaum muslimin dan bagi negerinya, lantaran kekafirannya. Dalilnya adalah perkataan Nuh mengenai anaknya:
رب إن ابني من أهلي
"Ya Robbku sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, ". (QS. 11:45)
Maka Alloh ta'ala mengatakan kepadanya:
يانوح إنه ليس من أهلك إنه عمل غير صالح
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. ". QS. 11: 46)
Oleh karena itu seorang bapak yang kafir tidak menjadi mahrom bagi anak perempuan muslimah. Karen kekafiran bapaknya menjadikannya orang asing baginya.
Kedua: karena mereka adalah orang orang murtad. Ibnu Taimiyyah mengatakan:"Kafirnya orang murtad itu lebih besar dari pada kafir asli, menurut ijma'." (Majmuu' Fataawaa XXVIII/478). Dan beliu juga mengatakan: "Telah ditetapkan dalan As Sunnah bahwa hukuman orang murtad itu lebih besar dari pada hukuman orang kafir asli dari berbagai segi. Di antaranya bahwa orang murtad itu ia harus dibunuh dan tidak diterima jizyah darinya dan juga tidak diterima jizyah darinya (sebagai ganti pembunuhan). Hal ini berbeda dengan orang kafir asli (ia tidak dibunuh jika mau membayar jizyah dan menjadi ahludz dzimmah). Dan di antaranya orang murtad itu harus dibunuh meskipun ia tidak mampu untuk berperang, beda halnya dengan orang kafir asli, ia tidak boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai kelayakan berperang(wanita dan anak-anak). Orang kafir seperti ini tidak boleh dibunuh menurut kebanyakan ulama' seperti Abu Haniifah, Maalik dan Ahmad. Oleh karena itu menurut mayoritas ulama' orang murtad itu dibunuh, sebagaimana madzhab Maalik, Syaafi'iy dan Ahmad. Dan di antaranya orang murtad itu tidaklah diwarisi, tidak dinikahi dan tidak dimakan sembelihannya. Hal ini berbeda dengan orang kafir asli. Dan begitu pula hukum-hukum lainnya." Majmuu' Fataawaa XXVIII/534. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan: "Abu Bakar dan para sahabat memerangi orang murtad terlebih dahulu dari pada orang-orang kafir dari ahli kitab. Sesungguhnya memerangi orang murtad itu adalah menjaga daerah yang telah ditaklukkan kaum muslimin, dan memasukkan kembali orang yang ingin keluar darinya. Adapun memerangi orang-orang musyrik dan ahlu kitab yang tidak memerangi kita adalah tambahan idzharuddin. Sedangkan menjaga modal itu lebih dikedepankan dari pada mencari laba." (Majmuu' Fataawaa XXX/35-159)
Ketiga: Karena mereka adalah orang kafir yang terdekat dengan kaum muslimin. Ibnu Qudamah mengatakan: "Dan setiap kaum memerangi musuh yang berada di sekitarnya. Dan dasarnya adalah firman Alloh ta'ala:
ياأيها الذين آمنوا قاتلوا الذين يلونكم من الكفار
Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,. (QS. 9:123)
Juga karena musuh yang paling dekat itu adalah yang paling berbahaya." (Al Mughniy Ma'asy Syarhil Kabiir X/372). Perkatan beliau yang berbunyi: "Dan musuh yang paling dekat itu adalah yang paling berbahaya." Hal ini tidak samar lagi. Sesungguhnya apa yang dilakukan para penguasa murtad --- dengan segala kekuasaan yang mereka miliki --- di negeri umat Islam, berupa menebarkan kekejian dan dosa, marusak agama manusia, dan menjalankan hukum selain syari'at Islam dan apa yang diakibatkannya, seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lebih dari itu mereka membunuh dan menyiksa para da'i. Hal ini tidak diragukan lagi mengancam terjadinya kemurtadan pada mayoritas umat islam. Dan inilah yang dimaksud fitnah dalam firman Alloh ta'ala:
وقاتلوهم حتى لاتكون فتنة ويكون الدين كله لله
Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Alloh. (QS. Al Anfaal (8) :39)
Berdasarkan semua itu, maka jelaslah bahwa jihad melawan para pemerintah tersebut hukumnya fardlu 'ain, karena mereka adalah musuh yang kafir dan tinggal di tengah-tengah kaum muslimin. Dan ini adalah salah satu keadaan yang disepakati para ulama' atas fardlu 'ainnya jihad ketika itu. Lihat Al-Mughi Ma'asy Syarhil Kabir tulisan Ibnu Qudamah X/366. Dan karena jihad melawan mereka itu fardlu 'ain maka sebagaimana yang saya nukilkan dari Ibnu Hajar tadi: "Wajib kepada setiap muslim untuk melaksanakannya." (Fat-hul Baariy XIII/123].
Yang dimaksud dengan penguasa disini adalah pemimpin negara, sama saja pemimpin tersebit presiden atau raja, yang memerintah berdasarkan hukum tersebut dan memerintahkan untuk menjalankan hukum tersebut. Pemimpin ini hukumnya kafir kufur akbar, berdasarkan dalil-dalil yang kami sebutkan dalam masalah keenam dan berdasarkan ijma’ yang kami sebutkan dalam masalah ketujuh. Dan kekafiriannya ini menimbulkan dampak sebagai berikut:
A. Kekuasaannya batal (tidak syah) dan haram mentaatinya.
Hal ini berdasarkan firman Alloh ta’ala
ياأيـها الذيـن آمنـوا أطيعـوا الله وأطيعـوا الرسـول وأولـي الأمـر منكــم
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (An Nisaa’: 59)
Sedangkan orang kafir bukanlah dari golongan kita, maka ia tidak boleh menjadi pemimpin kita dan tidak ada kewajiban taat bagi kita. Dan juga berdasarkan firman Alloh ta’ala:
ولــن يجعـل اللــه للكـافرين على المؤمنين سبيلا
“Dan Alloh ta’ala sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir terhadap orang-irang beriman”. (An Nisaa’: 141)
Sedangkan kekuasaan dan ketaatan adalah jalan yang paling besar, oleh karena itu tidak ada kekuasaan dan ketaatan bagi orang kafir atas orang Islam.
Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah Bin Ash-Shomit ra., ia mengatakan:” Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, memanggil kami unuk berbai’at. Di antara isi bai’at itu adalah supaya kami mendengar dan taat dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam keadaan susah atau senang dan meskipun (pemimpin itu) lebih mementingkan dirinya daripada kami, dan supaya kami tidak menggulingkan penguasa.
Dan beliau bersabda:
إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان
“Kecuali kalian melihat kekafiran nyata yang kalian memiliki keterangan dari Alloh ta’ala.” Hadits ini muttafaq ‘alaihi.
Maka jika terjadi kekafiran yang nyata pada pemimpin, otomatis gugurlah ketaatan kepadanya dan wajib untuk menggulingkannya.
Maka sebenarnya para penguasa yang menjalankan hukum buatan manusia di negara-negara kaum muslimin, mereka itu tidak pernah sama sekali menjadi penguasa yang syah. Mereka menjadi penguasa berdasarkan undang-undang dan dan bukan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian maka kepemimpinan mereka tidak syah dari dasarnya. Dan karena kebanyakan penguasa itu mengaku Islam, maka perbuatan kafir mereka itu menjadikan mereka sebagai orang murtad.
B. Wajib menggulingkan penguasa kafir.
Hal ini berdasarkan hadits Ubadah di atas. Dalam menjelaskan hadits tersebut An-Nawawi mengatakan: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; [Para ulama' bersepakat bahwa kekuasaan itu tidak diberikan kepada orang kafir, dan apabila terjadi kekafiran padanya (yang sebelumnya ia seoarang muslim), ia harus dipecat -sampai beliau mengatakan- Jika terjadi kekafiran atau merubah syari'at atau bid'ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pulalah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. Jika tidak ada yang mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang, maka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi' (berbuat bid'ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka tidak wajib menggulingkannya. Dan hendaknya orang muslim hijroh dari daerah tersebut ke tempat lain untuk menyelamatkan agamanya. Syarhu Shohiih Muslim XII/229. Ibnu Hajar juga mengatakan --- tentang penguasa --- :" Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar ijma' kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. " Fat-hul Baariy XIII/132
Ibnu Hajar juga mengatakan: " Ibnu Tien berkata; Para ulama telah ijma' (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid'ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak?." Ibnu Hajar berkata," Pernyataan beliau tentang adanya ijma' ulama mengenai hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid'ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid'ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata." Fat-hul Baariy XIII/124
Semua ini tujuannya adalah memecat penguasa kafir dan mengangkat penguasa muslim. Jika penguasa kafir itu bisa dipecat dengan tanpa peperangan maka yang penting target telah tercapai, namun jika target itu tidak bisa tercapai kecuali dengan peperangan, maka perang hukumnya wajib, karena kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan menempuh sebuah sarana, maka melakukan sarananya juga wajib. Hadits Ubadah bin Ash-Shomit meskipun hanya menyebutkan keterangan bolehnya memecat (dan agar kami tidak menggulingkan penguasa), akan tetapi hadits-hadits yang lainnya menjelaskan bahwa pemecatan itu dengan peperangan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits marfuu' dari Ummu Salamah "Para sahabat mengatakan:'Apakah tidak kita perangi mereka? Beliau menjawab;'Jangan selama mereka masih sholat bersama kalian." Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam kitabul imaroh dalam kitab shohihnya. Dan saya telah sebutkan dalam kritikan saya terhadap buku Al Qoulul Qoothi' Fii Manimtana'a 'Anisy Syaroo-i'" dalam mabhats I'tiqood, dalam memadukan pemahaman hadits-hadits ini, yaitu jika seorang penguasa itu meninggalkan sholat, ia diberontak karena tidak sholatnya penguasa tersebut adalah salah satu dari bentuk kufur yang nyata yang disebutkan dalam hadits Ubadah. Dan jika ia kafir dari sisi lainnya selain meninggalkan sholat (seperti menjalankan undang-undang ciptaan manusia, berwala' terhadap orang-orang kafir, membenci hukum Islam, membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin atau perbuatan apa saja yang membuat pelakunya kafir, pentj), ia juga diberontak berdasarkan keumuman hadits Ubadah, meskipun ia masih sholat.
Memberontak pemerintah kafir ini lebih ditekankan dan didahulukan dari pada memerangi orang kafir lainnya karena ada tiga sebab:
Pertama: perang melawan mereka ini termasuk kategori jihadud daf' (jihad mempertahankan diri) yang hukumnya adalah fardlu 'ain dan lebih didahulukan dari pada jihadut tholab. Hal itu karena para penguasa itu adalah musuh yang kafir yang menguasai negara kaum muslimin. Alloh ta'ala berfirman :
إن الكافرين كانوا لكم عدوا مبينا
"Sesungguhnya orang-orang kafir itu bagi kalian adalah musuh yang nyata". (An Nisaa': 101)
Dan Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Adapun jihad mempertahankan diri, adalah merupakan jihad yang paling besar yang berupa mempertahankan diri dari musuh yang menyerang kehormatan dan agama, maka jihad semacam ini wajib berdasarkan ijma". Oleh karena itu musuh yang menyerang dan merusak agama dan dunia, tidak ada yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya. Tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan tetapi musuh dilawan dengan kemampuan yang dimiliki." Al Ikhtiyaaroot Al Fiqhiyyah hal. 309. Dan telah ditetapkan bahwasanya jihad itu hukumnya fardlu 'ain jika musuh memasuki negeri kaum muslimin. (Al Mughniy Ma'asy Syarhil Kabiir X/366) Dan tidak ada bedanya apakah orang kafir yang menguasai itu orang asing atau berasal dari penduduk negeri tersebut lalu dia kafir dan menguasai negeri. Karena yang menjadi 'illah (sebab) wajibnya jihad adalah kekafiran, dan kekafiran itu terdapat pada orang yang asing atau orang yang berasal dari dalam negeri. Alloh ta'ala berfirman:
إن الكافرين كانوا لكم عدوا مبينا
"Sesungguhnya orang-orang kafir itu bagi kalian adalah musuh yang nyata". (An Nisaa': 101)
Ayat ini tidak membedakan antara orang asing maupun penduduk negeri sendiri. Hal itu juga karena orang murtad itu menjadi orang asing bagi kaum muslimin dan bagi negerinya, lantaran kekafirannya. Dalilnya adalah perkataan Nuh mengenai anaknya:
رب إن ابني من أهلي
"Ya Robbku sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, ". (QS. 11:45)
Maka Alloh ta'ala mengatakan kepadanya:
يانوح إنه ليس من أهلك إنه عمل غير صالح
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. ". QS. 11: 46)
Oleh karena itu seorang bapak yang kafir tidak menjadi mahrom bagi anak perempuan muslimah. Karen kekafiran bapaknya menjadikannya orang asing baginya.
Kedua: karena mereka adalah orang orang murtad. Ibnu Taimiyyah mengatakan:"Kafirnya orang murtad itu lebih besar dari pada kafir asli, menurut ijma'." (Majmuu' Fataawaa XXVIII/478). Dan beliu juga mengatakan: "Telah ditetapkan dalan As Sunnah bahwa hukuman orang murtad itu lebih besar dari pada hukuman orang kafir asli dari berbagai segi. Di antaranya bahwa orang murtad itu ia harus dibunuh dan tidak diterima jizyah darinya dan juga tidak diterima jizyah darinya (sebagai ganti pembunuhan). Hal ini berbeda dengan orang kafir asli (ia tidak dibunuh jika mau membayar jizyah dan menjadi ahludz dzimmah). Dan di antaranya orang murtad itu harus dibunuh meskipun ia tidak mampu untuk berperang, beda halnya dengan orang kafir asli, ia tidak boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai kelayakan berperang(wanita dan anak-anak). Orang kafir seperti ini tidak boleh dibunuh menurut kebanyakan ulama' seperti Abu Haniifah, Maalik dan Ahmad. Oleh karena itu menurut mayoritas ulama' orang murtad itu dibunuh, sebagaimana madzhab Maalik, Syaafi'iy dan Ahmad. Dan di antaranya orang murtad itu tidaklah diwarisi, tidak dinikahi dan tidak dimakan sembelihannya. Hal ini berbeda dengan orang kafir asli. Dan begitu pula hukum-hukum lainnya." Majmuu' Fataawaa XXVIII/534. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan: "Abu Bakar dan para sahabat memerangi orang murtad terlebih dahulu dari pada orang-orang kafir dari ahli kitab. Sesungguhnya memerangi orang murtad itu adalah menjaga daerah yang telah ditaklukkan kaum muslimin, dan memasukkan kembali orang yang ingin keluar darinya. Adapun memerangi orang-orang musyrik dan ahlu kitab yang tidak memerangi kita adalah tambahan idzharuddin. Sedangkan menjaga modal itu lebih dikedepankan dari pada mencari laba." (Majmuu' Fataawaa XXX/35-159)
Ketiga: Karena mereka adalah orang kafir yang terdekat dengan kaum muslimin. Ibnu Qudamah mengatakan: "Dan setiap kaum memerangi musuh yang berada di sekitarnya. Dan dasarnya adalah firman Alloh ta'ala:
ياأيها الذين آمنوا قاتلوا الذين يلونكم من الكفار
Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,. (QS. 9:123)
Juga karena musuh yang paling dekat itu adalah yang paling berbahaya." (Al Mughniy Ma'asy Syarhil Kabiir X/372). Perkatan beliau yang berbunyi: "Dan musuh yang paling dekat itu adalah yang paling berbahaya." Hal ini tidak samar lagi. Sesungguhnya apa yang dilakukan para penguasa murtad --- dengan segala kekuasaan yang mereka miliki --- di negeri umat Islam, berupa menebarkan kekejian dan dosa, marusak agama manusia, dan menjalankan hukum selain syari'at Islam dan apa yang diakibatkannya, seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lebih dari itu mereka membunuh dan menyiksa para da'i. Hal ini tidak diragukan lagi mengancam terjadinya kemurtadan pada mayoritas umat islam. Dan inilah yang dimaksud fitnah dalam firman Alloh ta'ala:
وقاتلوهم حتى لاتكون فتنة ويكون الدين كله لله
Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Alloh. (QS. Al Anfaal (8) :39)
Berdasarkan semua itu, maka jelaslah bahwa jihad melawan para pemerintah tersebut hukumnya fardlu 'ain, karena mereka adalah musuh yang kafir dan tinggal di tengah-tengah kaum muslimin. Dan ini adalah salah satu keadaan yang disepakati para ulama' atas fardlu 'ainnya jihad ketika itu. Lihat Al-Mughi Ma'asy Syarhil Kabir tulisan Ibnu Qudamah X/366. Dan karena jihad melawan mereka itu fardlu 'ain maka sebagaimana yang saya nukilkan dari Ibnu Hajar tadi: "Wajib kepada setiap muslim untuk melaksanakannya." (Fat-hul Baariy XIII/123].
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar