Afwan

Blog Sedang Dalam Renovasi Karena Pernah Terjadi Kesalahan,, Sekarang Sedang Di Perbaiki,, Maaf Jika Sedikit Berantakan ^^

Makasih,,,

Nb : sulaiman

Assalamu'alaikum Wa'rohmatillohi Wa'barokatuh

kami tidak memakasa orang kafir untuk masuk islam

(Qs. [2] Al-baqarah : 256)

1
لاَإِكْرَاهَفِيالدِّينِقَدتَّبَيَّنَالرُّشْدُمِنَالْغَيِّفَمَنْيَكْفُرْبِالطَّاغُوتِوَيُؤْمِنبِاللّهِفَقَدِاسْتَمْسَكَبِالْعُرْوَةِالْوُثْقَىَلاَانفِصَامَلَهَاوَاللّهُسَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. 2:256)


~ Perkumpulan Mujahid Muda Islam ~

Rabu, 15 Juni 2011

tafsir ayat hukum

Kajian firman Allah

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

I. sababun nuzuul[1]

Sebab turunnya ayat ini ada dua pendapat dari para ulama :

1. “Seorang yahudi yang telah dihitamkan dan dicambuk dilewatkan dihadapan Rosululloh SAW. Maka Rosululloh SAW memanggil mereka dan bertanya:

“Apakah seperti ini hukuman bagi orang yang berzina yang kalian dapatkan dalam taurat?”.



Mereka menjawab: “Ya”. Maka beliau memanggil salah seorang ulama mereka, lalu mengatakan kepadanya: “Aku menyumpahmu atas nama Dzat yang menurunkan taurot kepada Musa, apakah begini hukuman bagi orang yang berzina yang kalian dapatkan dalam kitab kalian?”.

Maka dia menjawab: “Demi Alloh tidak, dan kalau bukan karena engkau menyumpahku tentu aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Kami mendapatkan hukuman bagi orang yang berzina adalah rajam. Akan tetapi karena hal ini sering terjadi pada pemuka-pemuka kami. Padahal kami apabila yang melakukan pelanggaran seorang pemuka maka kami biarkan dan apabila yang melakukan pelanggaran itu seorang yang lemah, maka kami laksanakan hukuman. Maka kamipun mengatakan:”Mari kita membuat hukuman yang kita berlakukan untuk orang yang mulia maupun orang yang rendah.” Maka kami bersepakat untuk menghitamkan dan mencambuk. Maka Rosululloh SAW bersabda:

“Ya Alloh, sesungguhnya aku adalah orang yang pertama kali menghidupkan perintahMu ketika mereka mematikannya.”

Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya. Lalu Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر — إلى قوله

“Wahai Rosul, janganlah menjadikan kamu sedih orang-orang yang bergegas-gegas melakukan kekafiran — sampai —

firman Alloh yang berbunyi:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir.”

Hadits diatas diriwayatkan oleh imam Ahmad dari al barra’ bin ‘Azib. Sedangkan Imam Bukhari juga meriwayatkannya dengan dua lafadz yang berbeda yang intinya sama tentang orang yahudi yang berzina dari Abdullah bin Umar, Abu Huroiroh dan Jabir bin Abdullah. Imam Muslim, Abu Dawud, an Nasaa’-iy, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan lafadz yang berbeda namun tetap pada inti permasalahan yang sama yaitu tentang dua orang yahudi yang berzina yang dihitamkan wajahnya, dijilid dan dipermalukan.

2. Ibnu ‘Abbaas mengatakan: “Alloh menurunkannya berkenaan dengan dua kelompok Yahudi yang mana salah satunya berkuasa atas yang lainnya pada masa jahiliyah. Sehingga mereka sepakat bahwa kalau orang dari kelompok yang mulia membunuh seorang dari kelompok yang hina maka diyatnya 50 wasaq, sedangkan kalau orang dari kelompok yang hina membunuh seorang dari kelompok yang mulia maka diyatnya 100 wasaq. Kesepakatan itu terus berlaku sampai datang Nabi SAW kemudian kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia. Maka kelompok yang mulia mengirim utusan untuk menyampaikan: “Hendaknya kalian membayar kepada kami 100 wasaq.” Maka kelompok yang hina mengatakan: “Bagaimana bisa dua kampung yang satu diin (agama), satu keturunan dan satu negeri tapi diyat yang satu separoh dari diyat yang lainnya. Sesungguhnya apa yang telah kami berikan kepada kalian adalah kedholiman kalian terhadap kami dan perbedaan yang kalian tetapkan. Namun setelah Muhammad datang, kami tidak akan memberikannya kepada kalian. Maka hampir saja berkobar perang antara mereka, lalu mereka sepakat untuk menjadikan Rosululloh SAW sebagai penengah di antara mereka. Kemudian kelompok yang mulia sadar dan mengatakan: “Demi Alloh, Muhammad tidak akan memberikan kalian dari harta mereka dua kali lipat dari apa yang ia berikan kepada mereka dari kalian. Dan sungguh mereka benar, bahwasanya apa yang telah kita berikan ini hanyalah merupakan kedholiman kita dan penjajahan kita terhadap mereka. Maka utuslah kepada Muhammad orang yang dapat memberitahukan kepada kalian tentang pendapatnya. Jika dia memberikan apa yang kalian inginkan maka jadikanlah ia sebagai hakim (penengah), namun jika ia tidak memberikan apa yang kalian inginkan maka berhati-hatilah dan jangan kalian jadikan dia sebagai hakim.” Lalu merekapun mengutus beberapa orang munafiq kepada Rosululloh supaya dapat memberitahukan mereka tentang pendapat Rosululloh SAW. Maka ketika mereka datang kepada Rosululloh SAW, Alloh memberitahukan kepada RosulNya SAW tentang keadaan mereka semua dan apa yang mereka inginkan. Alloh menurunkan ayat:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر — إلى قوله — الفاسقون

“Wahai Rosul, janganlah membuat sedih orang-orang yang bergegas-gegas melakukan kekafiran — sampai — orang-orang fasiq.”( al-Maidah 41-47 ), Berkenaan dengan mereka inilah — demi Alloh — ayat ini turun, dan mereka itulah yang Alloh ‘Azza wa Jalla maksudkan.

Hadits ini ddiriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu Abbas ra. Sedangkan Ibnu Jarir dan An Nasa’iy juga meriwayatkan dengan lafadz yang berbeda juga dari Ibnu Abbas ra.

Inilah dua peristiwa yang diriwayatkan sebagai sababun nuzuul (penyebab turunnya) ayat-ayat ini akan tetapi yang benar adalah yang pertama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir: “Dan yang benar adalah bahwa ayat-ayat tersebut turun berkenaan dengan dua orang yahudi yang berzina.” Dan yang memperkuat bahwa yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut adalah yang pertama ada tiga hal yaitu:

Bahwasanya hadits tentang rajam tersebut diriwayatkan oleh empat orang sahabat — sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsiir dalam tafsirnya — yaitu: Ibnu ‘Umar, Abu Huroiroh, Jaabir bin ‘Abdillah dan Al Barroo’ bin ‘Aazib, sedangkan hadits tentang diyat hanya diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbaas ra saja.
Bahwasanya para rowi hadits tentang rajam, mereka berada di Madinah ketika orang-orang yahudi berada di sana — kecuali Abu Huroiroh — sehingga mereka menyaksikan peristiwanya. Lain halnya dengan Ibnu ‘Abbaas, ia tinggal Mekah sampai futuh (ditaklukkan) pada tahun 8 H, dan pada saat itu sudah tidak ada yahudi di Madinah, sehingga riwayatnya itu merupakan cerita dari sebagian sahabat yang lain — mursal shohaabiy — dan ia tidak menyaksikan sendiri.
Bahwasanya perkataan Ibnu ‘Umar dalam hadits tentang rajam yang berbunyi: “Dan aku termasuk orang yang merajam keduanya[2].” merupakan nash yang memutuskan perselisihan. Sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuuthiy — mengenai cara mentarjiih antara beberapa peristiwa yang menjadi penyebab turunnya satu ayat — ketika sanadnya sama-sama shohihnya maka diroojihkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang menyaksikan peristiwa. (Al Itqoon I/ 32).

Dan meskipun dikatakan bahwa sebab turunnya ayat ini bermacam-macam, sesungguhnya dua peristiwa yang dikatakan menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut, sama-sama mengenai orang-orang yahudi yang mengganti hukum Alloh yang telah disyari’atkan untuk mereka, sama saja apakah mereka mengganti hukuman orang muhshon yang berzina atau mengganti persamaan nilai diyat. Oleh karena itu perbedaan peistiwa yang menjadi penyebab turunnya ayat ini tidaklah berpengaruh terhadap hukum. Karena sesungguhnya manaathul hukmi (penyebab munculnya hukum) dalam dua peristiwa yang menyebab turunnya ayat tersebut adalah meniggalkan hukum Alloh dan membuat hukum baru sebagai pengganti lalu memutuskan perkara dengan hukum baru tersebut.Demikianlah pembahasan tentang sababun nuzuul (peristiwa yang menjadi sebab turunnya) ayat-ayat tersebut. kemudian kita lanjutkan kepada perselisihan mengenai penafsirannya

II. Pembahasan tentang tafsir ayat

Ada beberapa atsar yag berrbeda dari para sahabat mengenai ayat ini, sebagian memvonis kafir secara mutlak atas orang yang berhukum dengan selain hokum Allah, sebagian yangn lain menyebutnya sekedar kufrun duna kufrin atau kufur ashgor. Riwayat riwayat terserbut adalah sebagai berikut :

1. Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah I/41,” dari Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani dari Abdur Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,” Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah,” ” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir”

Beliau menjawab,

كفى به كفره

” Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.”

Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya,” Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.” Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. [lihat Tahdzibut Tahdzib I/515], dalam At Taqrib I/505 Al Hafidz mengomentarinya,” Shaduq.”

2. Ibnu Jarir ath Thabari meriwayatkan (12055 ) dari jalur ‘Abdur Rozzaaq dari Ma’mar dari Ibnu Thoowuus dari ayahnya( thawus bin kisan), ia mengatakan: Ibnu ‘Abbaas ditanya tentang ayat:

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

Ia (Ibnu ‘Abbaas) menjawab: هي به كفر “Ini adalah kekafiran.”

Ibnu Thoowuus berkata: وليس كمن كفر بالله وملائكته وكتبه

“Dan tidak seperti orang yang kafir kepada Alloh, para malaikatNya, kitab-kitabNya dan para rosulNya.” (Lihat Tafsiir Ath Thobariy VI/256).

Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan “Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya “ , riwayat ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, melainkan perkataan Thawus.

3. Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) dari Waki’, dari Ibnu Waki’ dari ayahnya dari Sufyan bin uyainah dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas, tentang ayat;

” Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”

Ibnu Abbas berkata,” Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.”

Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507]. Adapun Ibnu waki’ adalh Sufyan bin waki’ bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312,” Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.’

Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.

Kesimpulannya, tambahan ini dinisbahkan kepada Thawus dalam riwayat Abdur Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.

4. Ibnu Katsiir menyebutkan dalm tafsirnya II/62 dari riwayat Ibnu Abiy Haatim dan Al Haakim, keduanya dari jalur Sufyaan Ibnu ‘Uyainah dari Hisyaam bin Hujair dari Thoowuus dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman Alloh:

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

Ia mengatakan: “Bukanlah kekafiran sebagaimana yang kalian pahami, sesungguhnya ini bukanlah kekafiran yang menyebabkan keluar dari millah (Islam).

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

… adalah kufrun duuna kufrin.” Ini diriwayatkan oleh Al Haakim dan ini adalah lafadh dia dalam Al Mustadrok II/313 dan dia mengatakan ini shohih sesuai dengan syarat Syaikhoin (Al Bukhooriy dan Muslim) namun keduanya tidak meriwayatkannya.

Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in dan lain-lain. [Tahdzibu Tahdzib VI/25]. Ibnu ‘Ady menyebutkannya dalam Al Kamil fi Dhu’afai Rijal [VII/2569]. Demikian juga oleh Al ‘Uqaily dalam Al Dhu’afa al Kabir [IV/238].

Memang hadits yang diriwayatkannya bisa dijadikan untuk al mutaaba’ah, apabila ada riwayat lain yang menyertainya. Namun apabila riwayatnya tunggal — sebagaimana atsar ini — maka periwayatannya tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Dan begitu pula Al Bukhooriy dan Muslim menggunakan periwayatannya dalam al mutaaba’aat, bukan periwayatan tunggal.

#. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan perkataannya,” Saya akan mendatangi 90 istriku pada malam hari ini…” Beliau telah meriwayatkannya dengan nomor (5224) dengan mutaba’ah Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.

#. Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara mutaba’ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tempat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas,” Mu’awiyah berkata kepadaku,” Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…” Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba’ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus[3].

5. Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia bekata,” jika ia juhud (ingkar) terhadap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka ia adalah dholim dan fasiq.”

Sanad ini munqathi’ (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan. [Tahdzibu Tahdzib IV/213-2141. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun sebagian besar ulama melemahkannya.

6. Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : dari Ya'qub bin Ibrahim dari Husyaim dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang uang suap, maka beliau menjawab," Harta haram." Keduanya bertanya," Bagaimana jika oleh penguasa?" Beliau menjawab," Itulah kekafiran." Kemudian beliau membaca ayat ini:

" Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir."

Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas'ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah.[Tahdzibu Tahdzib VI/240,VI/41-42,III/497-498,II/380].

7. Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq,” Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya,” Apakah harta haram itu ?” Beliau menjawab,” Uang suap.” Laki-laki tersebut bertanya lagi,” Bagaimana kalau dalam masalah hukum.” Beliau menjawab,” Itu adalah kekufuran.” kemudian beliau membaca ayat:

” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52, Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250, Imam Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IV/199.

8. Dan yang serupa perkataan Ibnu Mas’uud ini dikatakan pula oleh ‘Umar ibnul Khoth-thoob ra, ‘Aliy bin Abiy Thoolib ra. Ini dinukil oleh Al Aluusiy Al Baghdaadiy dalam tafsirnya, dia mengatakan: “Al Mundzir meriwayatkan dari Masruuq ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Umar ibnul Khoththob ra: Apa pendapatmu tentang menyuap dalam memutuskan perkara, apakah ia termasuk as suhtu (harta haram)? Ia menjawab: Bukan, tapi ia adalah kekafiran. Sesungguhnya as suhtu itu adalah seseorang yang mempunyai posisi dan kedudukan di sisi penguasa, dan seseorang lagi mempunyai kebutuhan terhadap penguasa tersebut, kemudian orang tersebut tidak memenuhi kebutuhannya sehingga dia memberi hadiah kepadanya. Dan ‘Abad bin Humaid meriwayatkan dari ‘Aliy ra bahwasanya dia ditanya tentang as suhtu (harta haram). Maka dia menjawab: Harta suap. Lalu dia ditanya: Kalau dalam memutuskan perkara? Dia menjawab: Itu kekafiran. Dan Al Baihaqiy meriwayatkan dalam Sunan nya dari Ibnu Mas’uud hal yang serupa.” (Tafsiir Ruuhul Ma’aaniy, karangan Al Aluusiy, jilid III juz 3 hal. 140).
=================================================
[1] Untuk detailnya tentang riwayat yang menyebutkan penyebab turunnya ayat-ayat ini bisa dibaca ‘Umdatut Tafsiir Mukhtashor Tafsiir Ibnu Katsiir, tulisan Syaikh Ahmad Syaakir, sebagai ringkasan dari perkataan Ibnu Katsiir

[2] Lafadz dalam riwayat Imam Muslim dari Ibnu umar

[3] Untuk keterangan lengkapnya bisa di lihat di al jamie’ VII/109-167 versi terjemahan “pembahasan tentang firman Allah surat Al Maidah 44, tafsir, asbabun nuzul dan syubhat-syubhat”

0 komentar:

Posting Komentar